Cerita-cerita Sederhana dari Kami - Part 5

Kami tidak tahu apa yang membuat kami berjalan beriringan seperti ini. Hari esok tampaknya terlalu remeh untuk menjadi hal yang ditakuti, karena kami tahu, kami bersama. Selama kebersamaan ini selalu mengiringi, tidak ada lagi tempat tersisa untuk rasa takut.
Bersama. Mungkin satu hal itu yang secara tidak sadar, merasuki kehidupan kami. Kami saling menguatkan satu sama lain. Mengisi kekosongan satu sama lain. Melebihkan apa yang kurang dari pribadi kami masing-masing dan menerima apa yang menjadi keterbatasan kami masing-masing.

Kami punya cerita saat kami bersama. Terlepas dari kebersamaan itu, secara pribadi, banyak cerita yang kami alami. Semua hal menyenangkan itu seakan menutup semua luka di dalam hati kami masing-masing. Luka yang digoreskan oleh sebuah realita yang dinamakan kehidupan.

Mencoba - Diandra

Tidak ada yang bisa menjamin menjalin hubungan jarak jauh bakal baik-baik saja. Bahkan menurut survey yang pernah aku baca, 90%lebih orang yang melakukan hubungan jarak jauh atau biasa disebut LDR (Long Distance Relationship) tidak akan bertahan selama 3 bulan. Well, itu termasuk fakta yang menakutkan, bagiku… dan dia.
Hubungan kami bisa dibilang seperti remaja-remaja lainnya. Ketemu-kenal-dekat-jatuh cinta-jadian-tengkar-hampir putus-baikan-nggak jadi putus dan fase-fase lainnya yang biasa dialami oleh remaja umur 16-17 tahun.
Sejauh itu, hubungan kami terdengar baik-baik saja. Hingga pada suatu sore saat dia berkunjung ke rumah orang tuaku,
“Jadi. Gimana kabar si gendut yang suka kentut di sekolah itu? Masih kentut? Masih bau? Atau kamu”
“Sayang.” sela dia tiba-tiba. Wajahnya berubah serius. Tangannya berangsur menggenggam tanganku erat dan matanya yang lebar itu menatapku dalam-dalam. Aku terkesiap. “Papaku dipindahtugaskan ke Kediri….”
Aku tidak mendengar kalimat selanjutnya karena pikiranku langsung dipenuhi oleh hal-hal yang buruk yang bisa kubayangkan bakal terjadi dalam hubungan kami. Aku segera berdiri dari tempat duduk di ruang tamu, melepas genggaman tangannya, hanya demi membenamkan wajahku ke bantal di kamar tidurku untuk menyembunyikan tangisku yang meledak.
Sebulan sudah kami menjalani hubungan jarak jauh. Berita baiknya, kami hidup di jaman modern yang serba bisa, seakan jarak tidak berlaku di dalam kehidupan masa kini. Untungnya lagi dia masih setia denganku walaupun sering menggodaku dengan bercerita tentang teman perempuannya yang seksi di kelasnya.
“Di, ambilkan keju di atas kulkas dong.” Chessa berteriak dari dapur.
Segera setelah aku melahap sisa pancake buatannya, aku berlari ke arah lemari pendingin dan mengambil sekotak keju diatasnya lalu memberikannya pada Chessa di dapur.
“Thanks.” Kata Chessa sambal menerima sekotak keju itu tanpa mengalihkan pandangannya pada adonan cake yang akan dia buat. Aku tidak beranjak, mungkin Chessa tahu penyebabnya. Sedetik kemudian dia menatapku dan tersenyum, “Terima kasih, Diandra.”
“Sama-sama” balasku dengan cekikikan. Bukan hanya Chessa saja, Bitta, Lena, Yenna, Ilya, dan Ranti tahu bahwa aku tidak suka orang yang tidak menatap mata lawan bicaranya saat berbicara.

Aku baru akan kembali ke meja makan untuk melanjutkan obrolan tentang gebetan Ilya yang tidak segera beranjak dari zona amannya sampai aku merasa bajuku tertarik kembali. “Eh sini. Bantuin. Jangan makan mulu.” Itu Ranti.

Aku kembali beberapa langkah dan menjilati telapak tanganku yang masih lengket karena saus cokelat di pancake tadi. Dengan gerakan matanya Ranti menyuruhku cuci tangan dan memberiku alat parut dan keju. Aku rasa tanpa dia bicara pun, aku tahu tugasku.
“Enak ya LDR?” Ranti membuka pembicaraan. Aku mengangguk lalu tersenyum mengingat percakapan kita tadi malam tentang ayam goreng gosong si gadis seksi. “Hmm…” Ranti ikutan tersenyum. “Gak seburuk kayak bayangan awal kan?”
“Ya sedikit. Kadang.” Aku tetap tersenyum. “Tapi tengkar lewat layar chatting rasanya lebih mudah. Kita bisa mengontrol emosi kita sendiri dari jauh. Dan pada akhirnya kita saling bermaafan satu sama lain. Bayangin deh kalau tengkarnya tatap muka. Satu kesel, satunya nggak mau ngalah. Bukan tambah akur malah menjadi-jadi. Ya gak?”
Ranti mengangguk. “Ya boleh juga pendapatmu.”
“Tapi, aku pernah baca di buku kalau ‘Jika kita mencintai seseorang. Kita selalu ingin menyentuhnya.’” Chessa tiba-tiba nimbrung. Ternyata dia mengikuti pembicaraan kami.
Aku terdiam. Memutar kembali memori-memori bersama dia di kota ini. Meski banyak pertengkaran, cekcok, adu mulut, aku sadar bahwa hal-hal itu yang membuat kami bertahan hingga saat ini. Entah kenapa aku merasa rindu dengan umpatannya saat dia kesal melihatku tidak henti-hentinya mengulang-ulang kesalahannya. Rindu saat dia memelukku erat disaat aku menangis hebat karena kucing kesayanganku mati. Rindu beribu-ribu detik saat aku bisa menyentuhnya dan merasakan hadirnya dia di dalam hidupku. Setidaknya aku selalu mencoba setiap hari, meyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja, bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Meskipun aku tahu, semakin banyak aku mencoba merasa baik-baik saja, keadaan tidak akan pernah baik-baik saja.
Handphoneku tiba-tiba berbunyi, aku mengangkatnya dari nomer tak dikenal, “Halo. Selamat sore. Iya ini dengan saya sendiri. Paket? Paket apa ya? Di depan rumah ini? Saya lagi di rumah teman saya tapi pak. Bapak lagi di depan rumah teman saya? Kok paket atas nama saya diantar ke rumah teman saya? Permintaan pengirim? Oke. Sebentar pak saya akan keluar”
Aku mencuci tanganku sekali lagi dan berlari keluar. Di luar gerbang, aku melihat sosok pria bertopi dan berseragam salah satu jasa pengantar paket. Aku mendekatinya dan menyentuh pundaknya pelan.
Dia berbalik dan memberikan sebuket bunga mawar untukku. Di dalam mawar itu terdapat pesan kecil bertuliskan, “I hate missing you”. Aku mengangkat wajahku kembali dari buket bunga itu dan menatap pengantar pesan itu yang kini sudah melepas topi dan kacamata hitamnya.
You good.” Aku tersenyum simpul.
Just good? Its incredible, sayang. Aku jauh-jauh dari Kediri dan kamu hanya bilang….” Dia berhenti bicara saat aku memeluk dirinya erat sekali seakan-akan tidak akan membiarkannya pergi lagi dari hidupku.
I hate missing you too” aku memeluknya lebih erat dan menangis. Setidaknya sekarang, aku bisa berhenti sejenak untuk mencoba beranggapan semua-baik-baik saja. Sejenak, tidak selamanya. Tapi itu sudah cukup.

to be continued..... Bitta - Tidak Ada yang Lebih Baik dari Diri Sendiri

No comments:

Post a Comment