Bersama. Mungkin satu hal itu yang secara tidak sadar,
merasuki kehidupan kami. Kami saling menguatkan satu sama lain. Mengisi
kekosongan satu sama lain. Melebihkan apa yang kurang dari pribadi kami
masing-masing dan menerima apa yang menjadi keterbatasan kami masing-masing.
Kami punya cerita saat kami bersama. Terlepas dari
kebersamaan itu, secara pribadi, banyak cerita yang kami alami. Semua hal
menyenangkan itu seakan menutup semua luka di dalam hati kami masing-masing.
Luka yang digoreskan oleh sebuah realita yang dinamakan kehidupan.
Tidak ada yang bisa menjamin menjalin hubungan jarak jauh bakal baik-baik saja. Bahkan menurut survey yang pernah aku baca, 90%lebih orang yang melakukan hubungan jarak jauh atau biasa disebut LDR (Long Distance Relationship) tidak akan bertahan selama 3 bulan. Well, itu termasuk fakta yang menakutkan, bagiku… dan dia.
Hubungan kami bisa dibilang
seperti remaja-remaja lainnya. Ketemu-kenal-dekat-jatuh cinta-jadian-tengkar-hampir
putus-baikan-nggak jadi putus dan fase-fase lainnya yang biasa dialami oleh
remaja umur 16-17 tahun.
Sejauh itu, hubungan kami
terdengar baik-baik saja. Hingga pada suatu sore saat dia berkunjung ke rumah
orang tuaku,
“Jadi. Gimana kabar si gendut yang
suka kentut di sekolah itu? Masih kentut? Masih bau? Atau kamu”
“Sayang.” sela dia tiba-tiba. Wajahnya
berubah serius. Tangannya berangsur menggenggam tanganku erat dan matanya yang
lebar itu menatapku dalam-dalam. Aku terkesiap. “Papaku dipindahtugaskan ke
Kediri….”
Aku tidak mendengar kalimat
selanjutnya karena pikiranku langsung dipenuhi oleh hal-hal yang buruk yang
bisa kubayangkan bakal terjadi dalam hubungan kami. Aku segera berdiri dari
tempat duduk di ruang tamu, melepas genggaman tangannya, hanya demi membenamkan
wajahku ke bantal di kamar tidurku untuk menyembunyikan tangisku yang meledak.
Sebulan sudah kami menjalani
hubungan jarak jauh. Berita baiknya, kami hidup di jaman modern yang serba
bisa, seakan jarak tidak berlaku di dalam kehidupan masa kini. Untungnya lagi
dia masih setia denganku walaupun sering menggodaku dengan bercerita tentang
teman perempuannya yang seksi di kelasnya.
“Di, ambilkan keju di atas kulkas
dong.” Chessa berteriak dari dapur.
Segera setelah aku melahap sisa
pancake buatannya, aku berlari ke arah lemari pendingin dan mengambil sekotak
keju diatasnya lalu memberikannya pada Chessa di dapur.
“Thanks.” Kata Chessa sambal menerima
sekotak keju itu tanpa mengalihkan pandangannya pada adonan cake yang akan dia
buat. Aku tidak beranjak, mungkin Chessa tahu penyebabnya. Sedetik kemudian dia
menatapku dan tersenyum, “Terima kasih, Diandra.”
“Sama-sama” balasku dengan
cekikikan. Bukan hanya Chessa saja, Bitta, Lena, Yenna, Ilya, dan Ranti tahu
bahwa aku tidak suka orang yang tidak menatap mata lawan bicaranya saat berbicara.
Aku baru akan kembali ke meja
makan untuk melanjutkan obrolan tentang gebetan Ilya yang tidak segera beranjak
dari zona amannya sampai aku merasa bajuku tertarik kembali. “Eh sini. Bantuin.
Jangan makan mulu.” Itu Ranti.
Aku kembali beberapa langkah dan
menjilati telapak tanganku yang masih lengket karena saus cokelat di pancake
tadi. Dengan gerakan matanya Ranti menyuruhku cuci tangan dan memberiku alat
parut dan keju. Aku rasa tanpa dia bicara pun, aku tahu tugasku.
“Enak ya LDR?” Ranti membuka
pembicaraan. Aku mengangguk lalu tersenyum mengingat percakapan kita tadi malam
tentang ayam goreng gosong si gadis seksi. “Hmm…” Ranti ikutan tersenyum. “Gak
seburuk kayak bayangan awal kan?”
“Ya sedikit. Kadang.” Aku tetap
tersenyum. “Tapi tengkar lewat layar chatting
rasanya lebih mudah. Kita bisa mengontrol emosi kita sendiri dari jauh. Dan
pada akhirnya kita saling bermaafan satu sama lain. Bayangin deh kalau tengkarnya
tatap muka. Satu kesel, satunya nggak mau ngalah. Bukan tambah akur malah
menjadi-jadi. Ya gak?”
Ranti mengangguk. “Ya boleh juga
pendapatmu.”
“Tapi, aku pernah baca di buku
kalau ‘Jika kita mencintai seseorang. Kita selalu ingin menyentuhnya.’” Chessa
tiba-tiba nimbrung. Ternyata dia mengikuti pembicaraan kami.
Aku terdiam. Memutar kembali
memori-memori bersama dia di kota ini. Meski banyak pertengkaran, cekcok, adu
mulut, aku sadar bahwa hal-hal itu yang membuat kami bertahan hingga saat ini.
Entah kenapa aku merasa rindu dengan umpatannya saat dia kesal melihatku tidak
henti-hentinya mengulang-ulang kesalahannya. Rindu saat dia memelukku erat
disaat aku menangis hebat karena kucing kesayanganku mati. Rindu beribu-ribu
detik saat aku bisa menyentuhnya dan merasakan hadirnya dia di dalam hidupku. Setidaknya aku selalu mencoba setiap hari, meyakinkan pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja, bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Meskipun aku tahu, semakin banyak aku mencoba merasa baik-baik saja, keadaan tidak akan pernah baik-baik saja.
Handphoneku tiba-tiba berbunyi, aku mengangkatnya dari nomer tak
dikenal, “Halo. Selamat sore. Iya ini dengan saya sendiri. Paket? Paket apa ya?
Di depan rumah ini? Saya lagi di rumah teman saya tapi pak. Bapak lagi di depan
rumah teman saya? Kok paket atas nama saya diantar ke rumah teman saya?
Permintaan pengirim? Oke. Sebentar pak saya akan keluar”
Aku mencuci tanganku sekali lagi
dan berlari keluar. Di luar gerbang, aku melihat sosok pria bertopi dan berseragam
salah satu jasa pengantar paket. Aku mendekatinya dan menyentuh pundaknya
pelan.
Dia berbalik dan memberikan
sebuket bunga mawar untukku. Di dalam mawar itu terdapat pesan kecil
bertuliskan, “I hate missing you”.
Aku mengangkat wajahku kembali dari buket bunga itu dan menatap pengantar pesan
itu yang kini sudah melepas topi dan kacamata hitamnya.
“You good.” Aku tersenyum simpul.
“Just good? Its incredible, sayang. Aku jauh-jauh dari Kediri dan
kamu hanya bilang….” Dia berhenti bicara saat aku memeluk dirinya erat sekali
seakan-akan tidak akan membiarkannya pergi lagi dari hidupku.
“I hate missing you too” aku memeluknya lebih erat dan menangis. Setidaknya sekarang, aku bisa berhenti sejenak untuk mencoba beranggapan semua-baik-baik saja. Sejenak, tidak selamanya. Tapi itu sudah cukup.
to be continued..... Bitta - Tidak Ada yang Lebih Baik dari Diri Sendiri
No comments:
Post a Comment