Ets - Part 2

Days 67
Selama beberapa hari ini, dia tidak melepas jaketnya. Dan wajahnya itu... kenapa ada bercak merah menyeruak di kedua sisi pipinya ? Apa ada yang salah dengannya ? Tapi meski begitu, bagiku ia tetap primadona di hatiku, ia tetap cantik.
Erik juga mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Ia kini selalu berada di samping Ets. Sering kali aku melihat Erik memberi semangat kepada Ets saat Ets sudah mulai merebahkan badannya di meja. Dan sesering itu pula aku melihatnya... menangis. Menangis ? Kenapa ? Dan lagi-lagi, seorang penonton tidak akan pernah tahu cerita selanjutnya.

Days 70
Sial ! Bisa-bisanya aku lupa menaruh LKS Sosiologi ku ke dalam tasku lagi ! Sekarang aku sudah sampai di gerbang dan hanya demi sebuah LKS aku harus rela naik lagi ke lantai 4 ! Benar-benar ceroboh...
Lorong-lorong kelas sudah mulai sepi, hanya tampak beberapa sejoli yang sedang bermesraan. Aku mendengus ke arah mereka, berani-beraninya mereka bermesraan di depan mata seorang jomblo ! Aku mempercepat langkahku agar pemandangan menyeramkan ini cepat berakhir.
Lantai 2.... Lantai 3.... Lantai 4 !
Aku berjalan ke arah kelasku. Tirai kelas sudah ditutup dan jendelanya sudah terkunci rapat. Aku segera membuka pintu dan menyalakan lampu, satu-satunya hal praktis daripada harus membuka satu persatu tirai. Aku menuju mejaku dan mengambil LKSku, segeralah aku mengutuk LKS yang merepotkan itu ! Hei ! Tunggu... suara apa itu ? Seseorang menangis ? Sejak kapan ruang kelasku menjadi horor begini ?
Karena aku tidak percaya kepada hal-hal gaib, aku langsung mencari tahu datangnya suara itu. Aku berjalan ke belakang kelas dengan perasaan mantap. Mana ada hantu di siang bolong begini ? Itu dia ! Di sudut kanan kelas bagian belakang, aku melihat seseorang terduduk menenggelamkan kepalanya dan menangis.Hei ! Bukankah itu jaket Ets ?
Aku mendekatinya dan berusaha menyentuh bahunya, meskipun hal itu membuat seluruh tubuhku seperti tersengat listrik. “Ets ?” seruku perlahan. Ets mendongak dan melihatku. Wajahnya semakin parah, bercak merah itu seperti merajalela di pipi nya yang seputih bayi. Kenapa dia ? Aku menyentuh dahinya, hangat... Apa dia sakit lagi ?
“ Kau kenapa ? “ seruku khawatir. Aku segera menatapnya iba. Tapi dia berusaha tersenyum saat menatapku, senyum yang paling aku tidak sukai, senyum yang tidak ikhlas. Sebuah pikiran untuk memanggil Erik segera singgah, memang, aku harus benar-benar memanggil Erik sebelum Ets bertambah parah.
Ets menggeleng dan menggenggam tanganku, “ Kau jangan beritahu Erik soal ini. “ seakan tahu pikiranku. Mau tak mau aku menangguk dan membalas genggaman tangannya. Aku segera menjajari posisinya dengan duduk di sampingnya. Ia masih menggenggam tanganku erat.
“ Kalau boleh tau, kau kenapa ? “ perasaan getir itu muncul saat melihat sebuah air mata kembali meluncur di pipinya. Apa yang harus aku lakukan saat melihat seorang gadis yang benar-benar aku suka menangis di hadapanku ?
“ Sakit... “ entah itu sebuah jawaban atau itu sebuah ekspresi kata yang sedang dialaminya. Dan aku memilih opsi yang kedua.
“ Bagian mana yang sakit ? “ balasku sambil menatap wajahnya yang penuh bercak itu.
“ Semua. “ ia tersenyum pahit. “ Semuanya sakit. “ ia menangis lagi. Kali ini lebih deras. Aku segera merangkulnya dan memberinya bahuku. Bukannya cari kesempatan, tapi mungkin aku merasa lebih berguna jika melakukannya. “ Kau tau penyakit lupus ? “ tiba-tiba ia bertanya.
Setahuku LUPUS itu sebuah novel, bukan penyakit. Kenapa dia bertanya begitu ? Apa dia tidak sadar ya ? Tapi sekenanya aku menjawab, “Sepertinya pernah dengar. Kenapa ? “
“ Itu penyakitku. Namanya LUPUS. Dari namanya sebenarnya penyakitnya lucu ya. Unik. Tapi mematikan.“ dia tertawa seadanya. Tapi aku merasakan basah di bahuku, dia kembali menangis. Sekarang aku yakin kalau perasaan seorang wanita memang benar-benar rapuh, mereka mudah sekali menangis.
Pintu kelas terbuka lebar. Sosok pangeran berkuda yang bernama Erik itu muncul dengan wajah yang khawatir. Aku tau cowok pantang menangis, tapi demi apapun aku melihat Erik menangis saat itu. Erik cukup terkejut melihatku duduk sangat dekat dengan Ets, bahkan Ets meminjam bahuku. Erik segera menghampiri kami dan segera menggendong Ets di punggungnya.
Ia melirik ke arahku sebentar, “ Kenapa kau tidak memberitahu aku !? “ serunya marah. Namun Ets segera menenangkannya, “ Aku yang menyuruhnya tidak memberitahumu, sayang. “. Erik melirik sebal ke arahku dan segera keluar kelas dengan Ets yang berada di punggungnya.
Aku mendesah saat mereka sudah keluar kelas. Hari yang cukup menegangkan. Dan entah kenapa aku cukup lega saat tahu apa yang Ets rasakan. Sebuah perasaan sakit menyeruak, aku berusaha menahan tangis sekuat mungkin tapi... sia-sia, air mata itu mengalir dengan sukses. Melihat Ets menangis dan mengerang kesakitan sudah membuat perasaanku hancur berkeping-keping... Lebih hancur dari peristiwa seonggok kado di tempat sampah itu.
Apa ini ? Aku melihat sebuah cincin berinisial “E” berada di samping tanganku. Sangat yakin bahwa itu cincin Ets. Dan keyakinanku selanjutnya adalah cincin ini cincin Ets dan Erik. Karena pernah suatu kali aku melihat Erik mengenakan cincin ini meskipun jarang sekali.
Aku menyentuh cincin itu, ada sebuah perasaan hangat mengalir. Ets... kenapa dia begitu teganya menyakitiku dengan menangis di depanku ? Tapi aku tahu, penonton adalah hanya penonton. Penonton tidak boleh protes pada apapun yang terjadi di atas panggung. Dan lagi-lagi penonton adalah korban perasaan.

Days 85
Sejak kejadian itu Ets tidak masuk sekolah lagi. Aku hanya bergeming diam saat yang kudengar adalah tawa orang lain bukan tawa Ets. Aku sangat rindu senyum dan tawanya. Kenapa dia bisa bernasib seperti ini ?
LUPUS... penyakit itu... mematikan rupanya. Sudah banyak nyawa menghilang gara-gara penyakit yang seperti judul novel itu ! Aku baru saja search di google tentang LUPUS. Dan fakta-fakta mencengangkan seakan menjerat leherku hingga aku tidak bisa menemuka oksigen untuk beberapa saat. Ets... sebegitu tersiksakah dirimu ? Andai saja penyakitmu bisa dibagi. Tentu aku mau mengambil bagian di dalamnya, agar kamu tidak usah merasakan sakit.
Tapi tidak perlu dibagi saja, aku sudah bisa merasakannya. Sakit itu... yang benar-benar sakit. Di dalam hatiku.

Days 90
Aku diam, bergeming, berpikir... tidak aku tidak berpikir, aku hanya menatap bangku kosong Ets dengan perasaan yang sangat terluka. Baru saja dibacakan doa untuk... Ets. Dia sudah tidak ada. Gara-gara penyakit itu, ia terenggut ke dalam akhirat.
Tanganku gemetaran saat mengeluarkan kadoku untuk Ets. Bahkan Ets tidak tahu bahwa aku menyukainya. Itu sedikit membuatku menyesal hanya menjadi seorang penonton. Seharusnya aku bisa lebih berguna untuknya.
Erik tidak masuk. Dan semua orang bisa menebak dia pergi kemana. Pasti laki-laki itu sangat terluka atas kepergian kekasihnya. Bukan hanya Erik. Merda, Intan, Ike, semua sahabatnya menangis sambil membaca doa. Seluruh kelas menjadi suram. Kini tidak ada lagi yang bisa mendengar tawa Ets yang indah itu... Bahkan aku, aku tidak bisa lagi memandangnya... Semua ini begitu mendadak dan membuatku menjadi penonton terlemah saat ini.

Days 97
Aku menaruh sebuket bunga mawar merah di depan nisannya. Sakit sekali mengakui kenyataan bahwa orang-orang yang setiap hari bersama kita sudah berada di alam lain. Apalagi kalau orang itu adalah orang yang benar-benar kita sayang.
Tak tahu mengapa, air mataku tiba-tiba menetes. Aku segera menghapusnya. Mana ada cowok yang menangis ? Tapi sampai beberapa kali pun di hilangkan, air mata itu terus mengalir. Aku sangat terluka, Ets... tidakkah kau tau bahwa aku suka padamu ?
Aku mengeluarkan sebuah cincin berinisial E dari saku kemejaku. Aku menggenggam cincin itu lama, perasaan hangat mengalir dari seluruh nadiku. Rasanya nyaman sekali menggenggam cincin itu, seakan Ets benar-benar menggenggam tanganku.
Bahuku tersentuh. Aku segera menoleh dan mendapati wajah Erik yang pucat. Sudah beberapa hari ini aku tidak menemuinya di sekolah. Matanya yang dulu selalu bersinar kini loyo seperti tidak mampu terbuka dengan benar lagi. Wajahnya juga tirus, ia mungkin sangat tersiksa dengan kepergiaan Ets.
Tanpa mengeluarkan kalimat apapun, aku menarik tangan Erik dan menaruh cincin “E” itu di tangannya. Cincin yang sama yang kini di pakainya di jari manisnya. Erik menatapku tidak percaya. Ia lalu tersenyum getir dan menggeleng, “Untuk kau saja. Aku akan terluka jika melihat cincin ini tidak bertuan. “.
Tanpa protes lebih lanjut, aku mengangguk dan menaruh cincin itu di saku kemejaku lagi, “ Turut berduka ya, Rik. Ets orang baik, dia pasti sudah bahagia di surga sekarang. “
“ Aku tau. “ dia tersenyum.
Karena aku tahu diri, aku segera pergi dari sana setelah menepuk punggung Erik tanda bersimpati. Aku tau Erik hanya ingin berdua dengan Ets. Dan aku yakin, Erik sangat terluka. Belum beberapa langkah, aku mendengar isakan tangisnya yang terdengar tidak teratur. Mendengarnya membuat hatiku menjadi perih, dan mengundang kembali air mata itu...
Kau harus benar-benar bahagia disana Ets. Tidak untukku, tapi untuk Erik, yang benar-benar mencintaimu dan sudah berkorban.
Aku hanya seorang penonton yang akan pulang saat pertunjukkan sudah tamat...
*THE END*

*note : horee \(^o^)/ akhirnya jadi juga cerpen ini :') sebenernya cerpen ini juga terinspirasi dari seseorang .__.v dan aku pingin dia tahu, kalo ini spesial buat dia :p hehehe. sebenernya aku nekat nih jadi seorang cowok -_- tapi gakpapa deh kalo emang cowoknya nggak maksimal, mohon maklum aja ~ saya kan ceweek :3 tapi seru juga yaa :p buahaahaa #apasih -_- oke, makasih udah baca :'3 kritikannya sangat ditunggu lhoo xD Tchuss~

sekian,
AWA

No comments:

Post a Comment