Sekilas siluet sosok itu muncul. Segeralah aku menoleh ke belakang dan mendapatkan sebuah kekosongan. Hanya angin yang tak tampak yang daritadi hilir mudik. Aku tidak butuh angin, hanya dia, dia yang kubutuhkan. Sejenak kemudian aku mendapati diriku duduk di sebuah bangku panjang di tepi danau. Rasa sesak itu kembali muncul tatkala aku menyadari diriku sendiri... sepi... tanpa dia. Sudahlah, tidak usah ditahan... biarlah air mata itu menjadi satu-satunya pelega saat senja ini kembali datang.
" Hei, jujur aja.... " aku menggenggam tangannya erat.
Dia menatapku kosong dan menggeleng, " Aku nggak yakin. "
" Soal ? "
Dia menghembuskan nafas panjang. " Intinya, kamu jangan melupakan senja ini dan... bangku ini. "
Debu mulai memadati sisi bangku sebelah sana. Tempatmu. Tanpa banyak berpikir aku segera membersihkannya agar debu tak lagi menutupi kenangan itu. Kenangan yang akan selalu ada dan akan selalu membuatku merasa tak berguna.
" Simpan ini. " dia meletakkan sebuah liontin berbentuk owl di tanganku.
" Ini apa ? "
" Itu hadiah ulang tahunmu. Kata sahabatmu, kau suka sekali ya sama owl ? " dia menampakkan senyum terpaksa.
" Tapi... ulang tahunku sudah lewat. "
" Itu untuk ulang tahunmu selanjutnya. "
Aku tidur telentang menghadap langit di bangku itu. Agar debu tidak lagi mengotorinya. Dan juga agar aku bisa melihat pemandangan langit. Pemandangan yang seharusnya indah ini malah membuatku teramat sangat pedih. Senja itu persis tahun lalu...
Dia tampak terlihat pucat. Namun genggaman tangannya masih hangat menggenggamku.
" Kau pucat. " aku menaruh tanganku di dahinya. " Tapi tidak hangat. "
Dia menyingkirkan tanganku dari dahinya. " Saya tidak apa-apa. Jangan berlagak seperti ibuku"
" Aku hanya khawatir. " sebuah air mata akhirnya meluncur dengan sukses melewati pipiku.
Dia menatapku. Tatapan yang.... entahlah, aku tidak tahu itu artinya apa. Lama... padahal air mata ini sudah lewat beberapa kali, tapi dia tetap diam menatapku. Aku juga diam, dan aku merasakan sebuah kehangatan di bibirku. Sekilas. Dia lalu memelukku erat seakan tak mau melepaskanku.
" Kenapa ? Kau kenapa ? " aku mendesak.
Aku menyentuh bibirku. Tidak sehangat saat ia menciumku tahun lalu. Sebenarnya aku tidak butuh ciuman itu. Aku hanya butuh dia. Dia yang saat ini menatap senja yang sama dari langit lain. Dunia yang tidak bernama dan aku berdoa dia selamat.
" Saya sudah rusak. " dia berbicara sambil tetap memelukku lebih erat.
" Maksudmu ? "
" Saya sudah rusak... Obat-obatan terlarang itu.. dan hidup saya... Semua rusak ! " bahunya terguncang. Dia menangis ?
Aku melepaskan pelukannya itu hanya demi melihat wajahnya dan meminta penjelasan atas semuanya. Tapi memang benar... dia menangis. Kami menangis bersama dengan alasan yang berbeda dan ... tidak jelas.
" Maafkan saya. Saya memang bodoh. " dia tidak berani menatap mataku.
" Nar... nar... narkoba? " aku terbata-bata mengucapkan kata satu itu.
Dia tidak menjawab. Tangannya hanya bisa bergerak mengacak rambutnya sendiri. Seakan-akan menyesal atas semua perbuatannya.
" Kenapa ? Kenapa ? Kenapaa ?! " aku mengangkat kerahnya. Meluapkan segala kekesalanku. Kini aku tau arti pucat itu sebenarnya.
" Kau jangan berlagak seakan kau tidak bersalah ! " dia berteriak ke arah...ku.
Aku hanya diam. Melepaskan kerahnya perlahan. Aku merasa sangat lemas.
Bangku ini masih tampak baik. Yang tidak baik hanya danau ini. Airnya mulai menyusut karena kemarau panjang. Tidak bagus. Hanya langit dan bangku ini yang mengingatkanku tentang kejadian itu. Disini, bersama hatiku yang hampir tertata dengan baik setelah dihancurkan begitu keras.
" Apa.... " aku tak tahu aku hendak berkata apa.
" Kau ! Kau yang membuat saya seperti ini ! Kau tidak ingat haah ?! "
" Apa... " sebuah air mata mengalir di pipiku. Lagi.
" Kau tidak ingat saat kau mencampakkan saya ?! Kau berpacaran dengan orang lain saat saya sudah merasa kita sangat dekat satu sama lain ! Itu sangat membuat saya.... " dia tidak melanjutkan kalimatnya. " terluka. "
" Tapi... tapi sekarang kita akhirnya bersama kan ? Dia juga sudah bukan siapa-siapa lagi. "
" Sekarang memang iya. Tapi kita berbicara tentang masa itu. Masa saat saya terluka. Saat saya mulai mengenal obat-obatan ini... "
Aku menyentuh lengannya. Tampak kurus dan rapuh. Yang terasa hanya tulang yang terbungkus kulit. Tidak ada yang lain.
" Aku minta maaf. " kataku perih.
" Ya, aku memang memaafkanmu sayang. Tapi saya sudah terlanjur... semuanya sudah terjadi. Saya tidak bisa berjalan ke belakang lagi. Dan yang saya tunggu kini hanya... maut. "
" Kau jangan bilang begitu ! Kau pasti akan sembuh saat masuk panti rehab. "
" Tidak. Saya tidak mau tersiksa. Saya hanya ingin segera mengakhiri. "
" Kau gila ! " aku memukul lengannya.
" Ya, itu saya. Saya memang pemuda bodoh yang tergila-gila pada cinta. "
" Tapi... "
" Sudahlah. Jangan berkata apa-apa lagi. Saya hanya ingin menikmati senja ini... denganmu. Untuk yang terakhi -"
Aku meletakkan jemariku di bibirnya. " Sst. Diam. Dan nikmati. " dan luncuran air mata di masing-masing wajah kami sangat deras. Itu pertama, dan terakhir.
Tahun lalu... banyak kenangan. Sayangnya dia sudah tidak bisa lagi menemaniku menikmati senja ini. Setelah kejadian itu dia menghilang. Yang kupunya hanya liontin owl ini. Hadiah ulangtahunku darinya... meskipun tidak tepat waktu. Seandainya ada satu permintaan yang diberikan padaku, aku hanya ingin mengetahui keberadaannya. Mengetahui keadaannya. Menemui dia. Tapi itu semua mustahil saat aku mendapati diriku sendiri, tidak berdaya, dan lemah.
Aku tertekan, tidak tahu harus bagaimana, selama setahun ini aku menyimpan semuanya sendiri. Aku tidak mau membagi rasa sakitku ini pada siapapun. Aku menghargai rasa sakit ini, rasa sakit yang spesial hanya untukku... darinya.
Aku menatap owl itu sekali lagi. Sebuah kegetiran muncul. Perasaanku mulai sesak pandanganku mulai kabur. Air mata dan lagi-lagi hanya air mata yang bisa menemaniku... Aku hendak membuang owl ini dan segala kenangan yang ada saat tangan hangat itu mencegahku. Ia menggenggam tanganku... kehangatan ini....
" Kau membuang owl ? " nada itu, kalimat itu, kehangatan itu... dia... tidak mungkin.
Aku menoleh dan mendapati wajahnya seperti dulu. Sangat segar dan gagah. Sebuah senyum yang sederhana ikut melukiskan wajahnya. Dia... benar-benar... kembali...
Aku tersenyum tipis dan menangis. Entah kenapa tangisan ini begitu melegakan. Tangisan yang beda dengan yang telah ku lalui. Ini lebih indah.... Senja ini, bangku ini... tidak akan pernah sendiri lagi...
5:50 AM - 6:37 AM
yuuuhuu~ cerpen tersingkat yang pernah aku buat :p daripada pagi-pagi mentengin TL nggak ada yang menarik, jadi aku coba-coba buat cerpen yang singkat :D maaf ya kalo ada kata-kata yang salah atau ceritanya nggak bagus :D tapi jujur aja cerpen ini terinspirasi dari seseorang :') buahahahha :D oke, thanks udah baca :D
sekian,
AWA
No comments:
Post a Comment