Oh.. That's love - Part I

Jendela biasanya menjadi pigura terindah saat aku buka mataku dan mulai mengumpulkan nyawa. Sayangnya bulan ini sudah memasuki bulan Desember, puncaknya musim hujan. Hampir setiap hari cahaya matahari tidak sempat membangunkanku, itu mungkin salah satu alasan kenapa bulan ini aku begitu tidak bersemangat.

Alasan lain mungkin karena, Joe, si anjing nakal itu dibawa kakak sebagai teman perjalanan menuju Bandung, kota kelahiran suaminya. Atau karena alasan lain yang membuat tidur malamku tidak senyenyak malam-malam sebelumnya, alasan yang sama yang membuat layar handphone ku tidak menampilkan namamu untuk sekedar menyapa selamat malam...

***

Lelaki itu mendekatiku dengan langkah besarnya setelah matanya menemukan ku duduk di pinggiran lapangan bersama cewek-cewek rumpik yang sangat kusayangi. Ia langsung berdiri di hadapanku dan menarik tanganku menjauhi keramaian.

"Ada apa? Diterima kah?" kataku ikut penasaran.

Jarinya membentuk tanda silang dan wajahnya tampak lesu. Aku segera memeluknya memberi tanda bahwa aku ikut prihatin.

"Sudahlah, Ren. Banyak wanita lain." aku tetap berusaha menangkap pandangannya yang sedaritadi menatap ujung sepatu.

Dia menggeleng dan kulihat air matanya menetes satu persatu dan mengenai langsung ke sepatunya yang sudah tampak usang.

"Hei. Sebegitu pentingnya kah dia?" dia bergeming tidak menjawab. Dia terus menatap ujung sepatunya yang mulai basah. "Hei sadar, Ren. Cinta itu omong kosong. Tunggu seminggu dan kau pasti akan melupakannya."

"Kau tidak tahu rasanya mencintai seseorang, Jen. Dia... seperti.... oksigen. Memaksaku terus membutuhkannya. Kau tidak tahu..." dia menjawab sambil menatap mataku dalam. Wajahnya tidak pernah sekacau ini. Rendi tidak pernah separah ini.

Aku mundur ke belakang beberapa langkah. Mengusap wajahku dengan tidak senang. Aku tidak tega sahabatku ini menderita hanya karena seorang wanita cantik yang hanya pamer wajah tapi tidak punya otak. Mungkin aku juga salah karena selama ini berpura-pura mendukungnya bahkan membantunya hingga dia...ditolak mentah-mentah.

" Butuh kopi? Mungkin bisa jadi penenang." aku menyentuh bahunya dan memperlihatkan senyum terbaikku.

"Terimakasih, Jen. Tapi tidak, aku hanya butuh sendiri kali ini. Maaf."

***

Christmas break biasanya yang paling kunantikan. Rasanya seperti semua beban yang menekan pundakmu kau buang begitu saja. Lalu kau pergi bersama teman-temanmu dan tertawa selepas-lepasnya. Tapi kali ini tidak...

Setiap hari aku hanya bangun dari tempat tidurku melihat ke jendela yang langitnya tampak membosankan - karena tidak ada matahari tentunya. Lalu melihat lampu pohon natalku yang selalu membuatku merasa tenang. Lalu berdoa, dan kembali tidur. Rasanya tidak lagi sama, saat Rendi tidak lagi disampingku dan menghilang begitu saja.

Rasanya seperti.... Rendi memaksaku untuk selalu berada di dekatnya, secara tidak langsung begitu. Karena saat Rendi tidak ada, aku merasa tidak berarti lagi.

***

Hari natal tiba. Rumahku ramai dikunjungi oleh para tetangga untuk sekedar mengucapkan selamat natal atau mengobrol lama dengan ayah dan ibu. Di dalam keramaian ini aku masih berusaha untuk membaur dan melupakan kesendirianku selama ini, meskipun aku gagal. Di dalam keramaian ini, aku masih merasa sendiri. Dan setiap orang yang masuk, aku berharap itu adalah Rendi....

Malam menjelang, dan wajah Rendi tidak hadir dalam pandanganku. Mungkin aku hanya perlu berhenti berharap bahwa malam natal ini akan kulewati bersamanya.

Panggilan Ibu untuk memberesi rumah setelah dipakai banyak orang segera menyentakku untuk berhenti melamun dan melaksanakan kewajibanku di rumah ini.

Malam yang seharusnya menyenangkan ini terasa kering tanpa hadirnya Rendi.

***

Esoknya, sebuah pesan singkat membuatku melompat dari tempat tidur dengan kegirangan. Nama Rendi tertera disana, hal yang kuharapkan akhirnya terwujud.

Jen, kedai kopi biasanya jam 11. See you there

bersambung..........

nb: lama gak bikin cerpen, makanya tertarik mencoba bikin lagi
semoga suka yaa ^^
kritik dan saran monggo langsung di comment box

Aprilia Widia Andini

No comments:

Post a Comment