Oh.. That's love - Part II

Sudah kuduga. Mata Rendi selalu menghindari tatapanku, entah apa alasannya.

Hari ini seperti yang dia perintahkan, aku menuju kedai kopi langganan kami. Tidak banyak memakan waktu lama karena aku cepat menemukan sosok Rendi di meja dekat jendela memakai kemeja berlengan panjang.

"Kenapa, Ren? Udah baikan?" sapaku saat aku melihat kantung mata hitam di bawah matanya menggantung.

"Ya gitu deh. Namanya juga cinta. Susah ngilanginnya, Jen." Rendi mengacak rambutnya sendiri lalu menyeringai. "Kopi? Seperti biasa?"

Aku mengangguk. Ia lalu pergi menuju meja pesanan dan kembali dengan langkah gontai.

"Duh, Ren. Mau sampai kamu kayak gini? Kayak mayat hidup aja. Semangat dong!" aku mencoba. 

"Yaelah ini udah yang paling semangat tau. Kemarin-kemarin malah gak mau keluar kamar. " ceritanya sambil menopang dagu dan membuang pandangannya keluar jendela.

"Aku carikan cewek lagi deh. Mau gak?"

"Gak deh. Makasih, Jen. Terlalu banyak cinta, makin sakit ntar." dia lalu bergeming dan bersenandung seperti yang biasa dia lakukan.

Aku diam lagi. Tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa secanggung ini di hadapan Rendi. Apa karena kita terlalu lama tidak bertemu? Atau ada perasaan lain yang menyelinap tanpa permisi? Oke, cukup. Mungkin opsi pertama yang harus dipilih.

Saat hendak mengucapkan namanya, tiba-tiba saja Rendi berkata, "Cinta itu menurutmu apa?"

"Uhm. Oke. Cukup rumit." aku berpikir sejenak, menenangkan jantungku yang tiba-tiba berdebar saat Rendi melontarkan pertanyaan itu. "Seperti katamu, cinta itu sebuah candu. Gak bisa dihilangkan, kalau emang gak ada niat dari penggunanya. Tapi kalau gak dihilangkan, juga jadi repot. Nggak bakal bisa tenang kalau nggak ada di dekatnya. Jadi semacam perasaan yang memaksa."

"Jadi... kamu ngerasain hal yang sama waktu seminggu ini tanpa aku?"

Aku cukup kaget, sungguh. Dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Atau biarlah semburat merah di wajahku mengatakannya dengan baik.

"Aku....... hanya merasa, saat tidak di dekatmu, aku merasa bukan siapa-siapa." aku menunduk malu. Lama sekali. Karena tak ada jawaban aku mencoba mengangkat wajahku dan menemukan dia sedang asik dengan handphone nya.

"Ren?"

"Eh iya, Jen. Sori. Gimana tadi? " tanyanya gelagapan.

Aku menghela nafas panjang. Antara senang dan kecewa. Aku lalu menjawab sekenanya, "Ya enggaklah. Ngarang deh. Kecuali seminggu tanpa makan minum, baru aku merasa berbeda. Ha ha ha."

"Bagus." Rendi lalu menarik tanganku. "Maaf, Jen. Terlalu mendadak memberitahu. Tapi.... besok aku akan pindah ke luar kota karena kakak diterima kerja di Jakarta..............."

Aku tidak mendengar kalimat selanjutnya dan langsung menarik kembali tanganku dan menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa dia meninggalkan segala-galanya tentang kota ini, terlebih tentang aku? Sebegitu tak berartinya kah aku di hadapannya?

"Maaf, Jen. Aku nggak ada pilihan. Maaf."

"Aku mengerti. Walau sebenarnya aku tidak paham jalan pikiranmu." aku tertawa sekenanya. "Hitung-hitung bisa move on dengan baik ya, Ren?"

"Ya bisa dibilang begitu. " dia tersenyum manis.

Dan itu adalah senyuman termanisnya yang pernah aku lihat selama aku bertemu dengannya. Entah karena senyum itu yang terakhir kali diberikannya atau karena aku yakin aku tidak akan melihat senyumannya untuk beberapa bulan terakhir. Namun yang aku tahu pasti, Rendi sudah menjadi oksigen bagiku, entah bagaimana caranya aku hidup ke depannya. Mencari oksigen lain atau bertahan menunggu oksigen itu kembali?

*THE END*

No comments:

Post a Comment