Kami tidak tahu apa yang membuat kami berjalan beriringan
seperti ini. Hari esok tampaknya terlalu remeh untuk menjadi hal yang ditakuti,
karena kami tahu, kami bersama. Selama kebersamaan ini selalu mengiringi, tidak
ada lagi tempat tersisa untuk rasa takut.
Bersama. Mungkin satu hal itu yang secara tidak sadar,
merasuki kehidupan kami. Kami saling menguatkan satu sama lain. Mengisi
kekosongan satu sama lain. Melebihkan apa yang kurang dari pribadi kami
masing-masing dan menerima apa yang menjadi keterbatasan kami masing-masing.
Kami punya cerita saat kami bersama. Terlepas dari
kebersamaan itu, secara pribadi, banyak cerita yang kami alami. Semua hal
menyenangkan itu seakan menutup semua luka di dalam hati kami masing-masing.
Luka yang digoreskan oleh sebuah realita yang dinamakan kehidupan.
Posesif - Ranti
“Ngeliatin hape terus. Ada games baru ya?” celoteh Ilya sore ituyang membuatku segera menutup layar conversationku dengan dia.
“Ah enggak.” Segera aku mengambil risol yang kupesan dan
menggigitnya perlahan agar mayonnaise di dalamnya tidak berhamburan keluar.
Sikap spontanku yang cukup aneh malah membuat teman-temanku curiga.
Segera setelah Chessa menyelesaikan kisah hidupnya, mereka
menyuguhiku sejuta tanda tanya yang sejujurnya aku juga tidak tahu jawabannya.
Aku hanya diam saat mereka bertanya apa yang salah denganku. Aku hanya
tersenyum simpul saat mereka bertanya ada apa di layar hapeku sehingga begitu
menarik perhatianku. Aku baru terkejut saat Bitta menyebutkan satu nama dan
akhirnya semua tahu akar permasalahanku.
“Kenapa lagi si dia?” Diandra bertanya. Matanya yang tajam
seakan mengintrogasiku secara tidak langsung.
Aku menunduk. Mati kutu.
“Sudahlah, Ran. Orang kayak gitu nggak usah dibingungin. Dia
itu tipe orang yang suka kebebasan. Kalau kamu setiap detik setiap menit selalu
mencoba hubungin dia. Malah dia nya yg kepedean dan ngira kamu butuh dia banget.
Nggak usah posesif gitu lah.” Yenna yang sedari tadi diam mendengarkan Chessa
bercerita, mulai angkat bicara.
Posesif? Benarkah aku posesif? Aku tidak pernah merasa
mendominasi di dalam kehidupan seseorang, apalagi kehidupannya. Aku hanya ingin
tahu keadaannya. Jika aku terlihat posesif, itu juga karena dia tidak membalas
semua kekhawatiranku dan pada akhirnya rasa khawatir itu semakin menjadi-jadi.
Aku tidak hanya khawatir tentang keadaannya. Jika dia terus
menerus pasif begini, aku juga khawatir tentang perasaannya padaku. Apakah
sungguh-sungguh atau aku hanya dijadikan pelarian disaat dirinya butuh
seseorang untuk sekedar bercerita.
“Hei. Hei kamu. Heiiiii. Jawab dong. Serius nih….” Dan rentetan
kata lainnya yang kukirimkan padanya tapi tidak dibalas satu katapun.
Posesif. Sepertinya memang aku posesif. Aku menuliskan 1001
kata tapi dia hanya 1 kata. Aku benar-benar mendominasi kehidupannya. Setelah
aku sadar atas semua perangaiku yang tidak benar itu, akhirnya aku mulai mundur
dari kehidupannya. Bukan karena aku menyerah, tapi aku hanya ingin memberi
jarak pada hubungan kita agar terasa lebih nyaman. Sesuatu yang dipaksakan
tidak akan pernah memberi kenyamanan pada salah satu pihak.
Dua hari sudah aku bertahan tanpa pesan darinya. Selama itu
aku berusaha lari dari kesedihan dengan bersenda gurau dengan mereka. Ya,
mereka. Siapa lagi kalau bukan kumpulan orang sakit jiwa yang selalu menciptakan
tawa saat mereka bersama. Mereka yang selalu membuatku merasa orang
terberuntung di dunia karena memiliki mereka.
“Sudah berapa hari Ran?” Lena bertanya. Sore itu kami
berkumpul di rumah Chessa.
“Ya… hmm.” Aku berpura-pura menghitung seakan-akan aku sudah
tidak peduli padanya. “2-3 hari lah.”
“WOW!” Chessa berdiri dan bertepuk tangan. Dia lalu
mengacungkan ibu jarinya di depan wajahku. “Anda hebat!”
Semua berdiri dan melakukan hal yang sama dengan Chessa.
Bahkan Diandra memelukku erat dan menepuk punggungku perlahan. Aku tidak pernah
merasa sehebat itu. Aku tahu mereka hanya menghiburkan dan berusaha
menyingkirkan semua kesedihanku. Tapi aku benar-benar bahagia mereka melakukan
hal itu padaku.
“Terimakasih teman-teman” aku berdiri dan membungkukkan
badanku beberapa kali.
Mereka tertawa dan segera mengganti topik.
“Tau kan si dia? Iya yang sukanya kentut di kelas trus nggak
pernah mau ngaku! Iya dia nge-add aku di BBM, sebenernya nggak mau aku invite
tapi ya gimana, aku kan kenal. Akhirnya aku invite dan kalian tahu apa? Dia
setiap hari berusaha ngajak aku keluar padahal….” Yenna bercerita panjang lebar
tentang orang yang mendekatinya di BBM. Itu sih cerita lama. Yenna kan cantik,
banyak orang ingin dekat dengannya, sekedar kenal pun mereka sudah senang.
Drrttt….drrrtt….drrrtt…
Panggilan masuk dari nomer yang tidak kukenal.
“Halo?”
“Sayang. Ini aku. Maaf belum kasih kabar, aku sekarang lagi
di……”
Suara itu yang selama ini membayangi-bayangi mimpiku, akhirnya
aku mendengarnya kembali. Rasa khawatir, rasa takut, rasa kecewa yang selama
ini menekan batinku, akhirnya lepas begitu saja diikuti dengan air mata yang
tanpa henti keluar dari mataku.
to be continued..... Keajaiban Semesta - Ilya
No comments:
Post a Comment