Nyanyian Luka

Kakiku memburu cepat. Berusaha mengikuti irama detak jantung yang semakin berdetak begitu kencang hingga bergema di liang telingaku. Mataku menatap tajam ke jalanan kecil menuju bukit, tak ingin satupun kerikil kecil melukai kakiku.

Dalam duapertiga nafas tersisa aku jatuh ke jalanan tepat dibawah pohon besar. Aku merangkak mendekati batang pohon kokoh itu dan bersandar dibawahnya. Nafasku mulai kutata kembali agar tenagaku pulih.

Aku melirik jam tangan yang melingkar manis di tangan kiriku. Gawat! Tidak ada kesempatan lagi kalau begini caranya. Betapa aku menyesali semua perbuatan bodoh yang kubuat. Betapa aku dengan bodohnya meminum kopi bapak yang tergeletak begitu saja di meja. Betapa kafein itu menghipnotisku terlalu dalam hingga membuatku terbuai dalam mimpi indah dan melupakan janji penting hari ini.

Tenagaku pulih saat jantungku mulai teratur, namun semangatku sudah tidak ada lagi, aku sadar bahwa tidak ada kesempatan lagi untukku. Aku memejamkan mataku dan merasakan angin yang bertiup anggun membisik ditelingaku. Andai saja aku tidak bodoh, aku mungkin bisa merasakan angin ini dengan perasaan yang lebih baik.

Pandanganku kubuang jauh-jauh ke setiap sudut kota dibawah sana. Bukit ini cukup tinggi untuk menjadi pelindung bagi kota mungil ini. Maka tak heran, penduduk asli kota tak ada yang pernah rela bukit ini menjadi pemukiman seperti yang direncanakan proyek-proyek jahat. Bahkan mereka rela tidur di bukit ini untuk menjaganya tetap aman.

Memoriku berputar begitu cepat saat melihat jauh ke kota ini. Kota tempat aku dilahirkan, hingga tumbuh besar sampai saat ini. Kota yang cukup hangat yang membuatku tak pernah betah jika terlalu lama meninggalkannya. Kota tempat aku bertemu dengannya dan mulai jatuh cinta.

“Hei”

Seseorang memukul kepalaku dari belakang. Aku tak berani menoleh, karena aku tahu itu dia.

“Kemana aja.”

Aku menggeleng dan berusaha diam untuk pembenaran.

“Yaelah. Ditanyain malah diem.” katanya cuek. Dia lalu duduk tepat disampingku, tepat memandang ke arah kota dibawah sana.

“Katanya ada yang mau diomongin…” dia berusaha memancingku. Tapi aku tetap diam penuh penyesalan. “Yaelah ini anak ya. Katanya janjian di puncak bukit jam 4 pagi…”

“Iya iya maaf!” entah kenapa aku mulai kesal.

Dia tertawa kecil dan memukul kepalaku sekali lagi dengan lembut. “Dasar cewek! Yang salah siapa yang marah siapa.”

Aku pura-pura membenarkan rambutku yang kuikat sembarangan tadi sebelum berangkat.

Kami lalu terdiam dalam alunan merdu kicauan burung dan angin yang berulang kali menyapu rambut kami perlahan. Aku menoleh menatap wajahnya. Tidak ada yang berubah sejak pertama kali bertemu, kecuali suaranya yang lebih berat dibanding waktu lalu. Aku menatapnya begitu lama hingga aku merasa mendengar suara nafasnya yang teratur dan entah kenapa terdengar merdu ditelingaku.

Tiba-tiba dia bergerak, menoleh ke arahku. “Apa lihat-lihat!” katanya kasar. “Dasar cewek!”

Aku sigap berdiri untuk menyembunyikan wajahku yang mungkin merah padam gara-gara kepergok menatapnya sebegitu lama. Terimakasih Senin, kebodohan apalagi yang akan kubuat hari ini.

Dia ikut berdiri. Sangat tinggi hingga aku harus menengadah sedikit untuk menatap langsung ke matanya.

“Hei pendek. Kamu sadar nggak kalau tingkah konyolmu ini sudah membuang banyak waktuku! Aku udah pasang alarm biar bisa datang jam 4. Eh, kamu malah datang jam 5. Sekarang kamu ditanyain, malah diam aja.”

Aku bukan diam. Aku hanya tidak bisa bersuara. Lidahku terasa ngilu dan tenggorokanku tercekat bahkan satu katapun terasa sulit untuk terucap.

Dia menggeleng penuh rasa heran. “Awas aja ya besok di sekolah! Udah ah, aku laper, belum makan. Aku duluan ya!”

“Eh… tunggu….” tanpa sadar aku menarik lengan bajunya.


Bodoh! Apa yang kulakukan…..

to be continued...

No comments:

Post a Comment