Menjadi Baik Tidak Cukup

Sore itu, sambil mengumpulkan nyawa akibat begadang malamnya, aku berjalan menuju ruangan dosen. Dosen ini sungguh dosen yang aku kagumi. Betapa tidak, beliau sangat berdedikasi dalam melayani masyarakat dengan segudang ilmu yang beliau punya. Maksudku, di jaman yang serba digital ini, masih saja ada orang baik yang rela turun ke lapangan, berkotor-kotor ria, masuk ke gang-gang kumuh, dan yang perlu digaris bawahi, beliau punya gelar yang begitu panjang yang tersemat di namanya.

Janjianku dengan beliau sudah sejak lama, tapi karena banyak hal, sering kali dibatalkan. Rencananya aku ingin mengobrol dengan beliau terkait proyeknya yaitu pamsimas (pelayanan air minum sanitasi berbasis masyarakat) yang sedang beliau kerjakan. Hitung-hitung aku bisa sedikit merayu beliau, agar aku diikutkan dalam proyek yang menurutku sangat mulia ini.

"Permisi pak." kataku setelah beliau mempersilahkanku masuk.

"Duduk nak." ujar beliau singkat tanpa memalingkan pandangan dari layar ponsel pintarnya.

Sejujurnya aku agak gelisah. Ilmuku tidak setinggi orang-orang lain, bisa dikatakan cetek juga untuk ukuran mahasiswi yang sudah memasuki tahun keempat. Tapi, sebenarnya sebelum aku memasuki ruangan itu, tekadku untuk mengabdi masyarakat bisa dikatakan sangat besar.

"Ada apa nak?" tanyanya setelah keheningan yang cukup lama di ruangan ini. Aku tidak mungkin menginterupsi kegiatan beliau berkomunikasi dengan ponselnya.

"Jadi begini pak" aku menghirup nafas yang panjang sebelum melanjutkan. "Saya tertarik dengan proyek pamsimas bapak"

Aku tidak tahu, kalimat sependek itu bisa dihajar habis-habisan dalam 30 menit. Beliau bercerita banyak tentang pamsimas, bagaimana si penduduk, bagaimana pamsimas masa kini, bagaimana bobroknya kelembagaannya. Aku hanya diam sambil sesekali menganggukan kepala dan berkata "Iya pak".

"Pokoknya kamu banyak-banyak belajar nak. Kamu orang pinter, tak kasih New York buat dirancangin pipa air minumnya, pasti kamu bisa." kata beliau tegas.

"Sebenarnya pak" aku menghela nafas lagi. Entah sudah berapa kg oksigen yang kuhirup diruangan ini. "Saya tidak sepintar itu untuk dapat meyakinkan warga, apalagi mengurus hal-hal printilan yang seharusnya bukan ranah kerja saya seperti sosial ini."

"Kamu harus banyak membaca literatur. Saya juga gamau kalau ada orang yang bimbingan males membaca."

Ketika mendengar itu, langsung kuputar memoriku seminggu kebelakang. Sepertinya hal terakhir yang kubaca bukanlah jurnal internasional, apalagi buku Metcalf and Eddy. Hal-hal seperti inilah yang membuat niatku menjadi baik semakin memudar.

"Pak, saya tahu saya bukan orang cantik, saya bukan orang yang pintar, saya bukan orang yang rajin. Tapi saya ingin menjadi baik." ujarku penuh keteguhan.

"Nak, kamu kurang banyak membaca." senyum beliau punya banyak arti. "Menjadi baik tidak pernah cukup"

***

No comments:

Post a Comment