Di era yang semakin global ini tentu semakin terbuka luas wadah untuk beropini dan menyampaikan pendapat. Hal ini jugalah yang memprakarsai gerakan yang masif dengan durasi yang sangat pendek. Dengan jari-jari yang begitu lincah, hitungan sepersekian detik, banyak sekali bara-bara api yang keluar untuk menyulut. Sayangnya bara api ini tidak selalu positif seperti kegunaannya untuk membakar sate, tapi bisa jadi bara api ini sengaja disulut agar terjadi kebakaran.
Satu hal yang paling kusoroti dari gerakan yang super masif karena sosial media adalah keseteraan gender. Penyulut isu ini setahuku adalah kasus catcalling dan raping. Wanita merasa tidak aman ketika berada di suatu lingkungan yang memaksa dirinya untuk mendengar godaan-godaan dari lawan jenis, khususnya mas-mas kuli bangunan. Catcalling ini merambah ke kasus pemerkosaan yang dimana malah si korban jadi tersangka karena dinilai menggoda si pemerkosa dengan memakai pakaian seksi. Tentu sebagai seorang wanita aku mengamini itu. Aku sadar betul catcalling adalah tindakan paling tidak berpendidikan dan pemerkosaan yang menyalahkan si korban adalah tindakan yang paling tidak masuk akal.
Pemicu ini cukup jelas dan memang menarik perhatian massa yang cukup banyak dari kalangan wanita. Sehingga tak lama dibentuklah gerakan kesetaraan gender yang aku pikir itu 11-12 dengan feminist. Awalnya aku menganggap feminist adalah sebuah gerakan keren yang berfokus pada woman empowering. Nggak butuh lama buatku, untuk mengidolai gerakan ini. Namun beberapa waktu yang lalu terjadi gerakan yang begitu masif mengenai feminist yang menurutku sudah diluar nalarku sampai terjadilah quote-quote yang sangat tidak berpendidikan yang keluar dari gerakan tersebut.
Sampai aku menyadari sesuatu, bahwa aku bangga menjadi wanita dan seharusnya wanita-wanita lain diluar sana juga bangga. Satu hal yang harus digaris bawahi adalah wanita memang tidak sama dengan pria. Apa yang mereka perjuangkan menjadi bukti bahwa mereka merasa kedudukannya lebih dibawah pria, sedangkan aku merasa baik-baik saja dan merasa kedudukanku selalu setara dengan mereka. Aku masih bisa belajar, aku bisa bekerja, aku bisa bermain sosial media, kesetaraan apa yang diharapkan?
Yang lucu lagi, aku baru sadar bahwa semua manusia itu otaknya sama kotornya, tidak memandang gender. Kejadian jojo buka baju dilapangan adalah salah satu contoh yang sangat terlihat, bagaimana para wanita merasa bergairah melihat video tersebut. Ah, sama aja ternyata. Yang lucu lagi adalah ketika di kampusku ada acara seminar, cowok-cowok sengaja duduk-duduk anteng sambil main game di ponsel pintar mereka. Beberapa gerombolan cewek berusaha sekuat tenaga memindahkan galon sambil menyindir, "Aduh berat nih." tapi salah satu dari cowok nyeletuk, "katanya keseteraan gender."
Hal ini sebenarnya menjadi tamparan untuk para wanita yang masih mengelu-elukan keseteraan gender. Kalau memang tidak sanggup untuk setara, bisakan untuk berjalan beriringan? Apa yang kamu harap dari keseteraan itu kalau untuk beberapa hal saja dan untuk kepentingan dirimu sendiri? Maka berubahlah menjadi pribadi yang lebih baik, tidak perlu mempermasalahkan hal-hal yang sederhana.
***
No comments:
Post a Comment