“Jadi kalau aku suka sama kamu, gimana?”
“Boleh sih tapi jangan berlebihan. Apalagi sampai obses.” Katanya
lancar. Seperti sering ditanyai hal demikian.
Aku tertawa lepas malam itu mendengar jawabannya. “Nggaklah.”
Aku menyela dengan menyesap kopi dinginku. “Aku orangnya nggak bisa obses ke
sesuatu.”
“Baguslah kalau kayak gitu.” Dia tersenyum manis sekali.
Sampai rasanya kopi dingin yang kukira kemanisan tadi, terasa sangat pahit.
Malam itu, kami mengerjakan sebuah project social campaign di sebuah workspace di Surabaya. Dia sendiri yang menginisiasi campaign ini dan mengajakku bergabung,
tentu nggak butuh waktu lama sampai aku mengiyakan. Seperti yang sudah kukatakan
tadi. Alasannya adalah karena aku suka sama dia. Bukan, dia bukan orang yang
ganteng, apalagi pintar. Dia hanyalah orang yang ikhlas dan selalu memandang
segala sesuatu secara positif. Itulah yang membuatku tergila-gila padanya.
Waktu menunjukkan pukul 02.00 A.M ketika dia menutup
laptopnya dan membersihkan meja yang kami gunakan. Terhitung sudah 5 jam kami
duduk disini membicarakan campaign ini.
Artinya sudah 5 jam aku mengagumi caranya berpikir dan mengutarakan sesuatu.
Tidak bertele-tele dan cerdas. Entah berapa desiran darahku yang mengalir cepat
ketika dia menatapku dalam-dalam sambil menjelaskan isi otaknya.
“Kamu pernah pacaran nggak sih?” dia tiba-tiba bertanya
sambil menggulung kabel charger
laptopnya.
“Hm. Bisa dibilang iya, bisa dibilang enggak.” Jawabku yakin.
“Kok gitu?”
“Soalnya aku nggak tahu definisi pacaran sebenarnya. Bukannya
dia hanyalah istilah terhadap sebuah hubungan antara dua orang dewasa?” aku
menatapnya. “Tapi nggak ada yang menjelaskan secara pasti hubungan yang seperti
apa yang dianggap ‘pacaran’. Kalau aku ngomong makan, tentu itu sebuah kegiatan
yang pasti. Tapi kalau pacaran? Bisa jadi konsep pacaran seorang terhadap yang
lain berbeda. Jadi aku nggak bisa menyimpulkan nih aku sebenarnya pernah
pacaran atau nggak.”
Dia tertawa lebar sekali dan tanpa kusadari aku tersenyum
melihatnya.
“Kamu kebanyakan mikir.” Dia geleng-geleng kepala. “Memang
rumit ya otakmu.”
“Ya begitulah.” Aku jadi bingung menanggapi karena tidak
tahu sebenarnya dia memuji atau menghina.
Workspace pukul
02.00 AM sepi sekali, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan selain nafas kami
berdua di ruangan itu. Lampu-lampu gedung di hadapan kami sungguh membawa
suasana disekitar kami menjadi lebih syahdu. Akan lebih mantap kalau
memandangnya sambil dengerin lagu folks
Indonesia kesukaanku.
“Kalau aku menciummu sekarang?” katanya tiba-tiba.
Bodohnya aku! Tentu wajahku langsung panas ketika
mendengarnya. Tapi aku berusaha mengatur emosiku lewat gemerlapnya kota
dihadapanku. Setelah hening beberapa saat, aku memberanikan diri menoleh.
“Untuk apa?”
“Aku hanya ingin mencoba.” Dia menjawab cepat. “Kamu bilang
kamu suka aku?”
Aku tertawa. “Bukan begitu. Apakah rasa suka harus ditandai
dengan sentuhan fisik?”
“Iya.” Dia tegas menjawab. “Apakah kamu tidak tahu betapa
tersiksanya orang-orang yang saling menyukai tapi tidak pernah bersentuhan
secara fisik? Sentuhan itu menghantarkan energi positif dari pembawa ke
penerima.”
“Masuk akal.” Aku mengiyakan. “Suka dan nafsu, lantas apa
bedanya?”
“Sama. Mereka saling berkaitan satu sama lain.” Dia membenarkan
posisi kacamatanya. Entah kenapa aku suka matanya ketika dia menjelaskan sesuatu.
Tampak sangat berkilau dan fokus.
“Menurutmu kalau aku suka donat dan melewati
toko donat, apakah aku akan membelinya?”
“Ya sudah tentu. Aku tahu kamu pernah menghabiskan 10 donat
dalam suatu waktu.”
“Jadi, suka donat adalah perasaan. Makan donat adalah hormon
yang orang-orang sebut nafsu. Aku nggak bakal nafsu kalau aku nggak suka kan? Nafsu
adalah sebuah reaksi terhadap suatu kecintaan.”
“Menarik.” Aku tersenyum. “Terus apa kabar orang-orang yang
hamil diluar nikah dan si bapak minggat nggak mau tanggung jawab? Apa itu nggak
cuman nafsu belaka?”
“Aku sih tentu nggak mau berhubungan badan dengan seseorang
yang nggak aku suka. Pasti awalnya karena aku suka dulu, entah suka dalam segi
apapun, baru aku merasa bernafsu. Lalu selanjutnya ketika nafsu itu hilang dan
rasa suka digantikan oleh rasa penyesalan, itulah yang disebut minggat.” Dia tersenyum.
“Ya intinya nafsu itu emang selalu ada di sanubari setiap makhluk hidup. Tapi balik
lagi, nafsu dipengaruhi oleh hormon. Dan hormon dipengaruhi oleh ini.” Dia
menunjuk rambutnya.
“Rambut?” aku berkelakar. Tentu aku tahu jawabannya otak.
Dia tertawa lagi di depanku. Sungguh aku ingin sekali
melarangnya untuk tertawa karena tawanya membuatku secara otomatis tersenyum.
“Boleh deh” aku menjawab pertanyaan yang mungkin dia juga
sudah lupa kalau dia tanya. “Boleh kalau kamu memang suka aku.”
Tapi tentu aku harus tahu bahwa dia tidak lupa menanyakan
itu karena dia menungguku daritadi untuk menjawabnya. Lalu berdirilah dia dari
kursinya dan mendekat padaku. Kedua tangannya memegang kedua pipiku yang mulai
panas dan mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Dalam sepersekian detik dia menciumku, bahkan aku lupa untuk
memejamkan mata karena dia menyelesaikannya begitu cepat. Panggil aku pervert karena memang aku tidak bisa
melupakan tekstur bibirnya saat itu. Meski cepat, tapi otakku sudah mencatat
segala detail yang perlu aku ingat. Tentu karena ini ciuman pertamaku dengan
laki-laki yang kusuka.
“Aku boleh tanya lagi?” dia tetap memegang kedua pipiku.
Belum aku menjawab, dia sudah melanjutkan pertanyaannya, “Kamu mau nggak menemaniku?”
“Besok? Atau kapan?”
“Sampai aku tua.”
***
No comments:
Post a Comment