Banyak orang merekomendasikan aku buat dengerin podcast by Kejar Paket Pintar, dimana dua orang wanita dewasa bicara ngalor ngidul dan bahasannya masih seputar kehidupan and its super related to our life! Ok then I try to listen to them. Aku milih topik yang "Menjaga Kewarasan" karena di descriptionnya ada kalimat "life survival tools", and yeah I really need that things right now.
Belum sampai 5 menit mereka mengeluarkan kata-kata yang menurutku menarik tentang mengelola ekspektasi. Mereka pun menjabarkan bagaimana mereka bisa survive di tahun 2018 yang menurut mereka berat. Mereka memperkenalkan new god called The School of Life. So basically The School of Life ini menebarkan filosofi mereka tentang kehidupan lewat platform Youtube. Dijelaskan oleh kedua caster bahwa Alain De Botton ini memperkenalkan new way of life lewat proyeknya yaitu The School of Life. Berbeda dengan filsuf terkenal lainnya yang mengajarkan tentang optimisme hidup, Alain de Botton ini malah basically menanamkan pemikiran pesimisme terhadap pengikutnya.
Pesimisme yang ditekankan tidak radikal seperti, "NGAPAIN IDUP NTAR UJUNG-UJUNGNYA MATEK. MENDING MATEK SEKARANG". Bukan. Jadi si Alain de Botton ini kurang lebih mengajarkan bahwa hidup ya bakal banyak masalahya gitu, gak akan pernah selesai, jangan berharap banyak apalagi mengekspetasikan hal-hal yang gak mungkin bakal terjadi. Sehingga, si Alain de Botton ini berusaha menanamkan nilai bahwa hidup ya less expectation aja karena semakin ekspektasi kita gede terhadap sesuatu, maka makin sakit hatilah kita jika ekspektasi itu tidak terwujud. Kurang lebih begitu. Buat yang mau nonton silahkan bisa search sendiri di Youtube.
Sebenarnya aku setuju gak setuju sih dengan pandangan ini. Aku merasa manusia hidup karena sebuah harapan. Dan gak ada yang bisa mengelola harapan itu termasuk kita sendiri. Kadang apa yang aku harapkan adalah apa yang tidak aku ingin harapkan. Misal aku merasa aku berharap jadi kaya, padahal diriku yang lain merasa aku gak berharap demikian. Jatuhnya jadi kayak bergulat sama diri sendiri, sebenernya mana sih yang aku harapkan.
Dari situ sebenarnya teori ini yang bikin gak bisa masuk di otakku. Gimana cara mengelola ekspektasi? Oke kita bisa ngomong pake mulut bahwa kita tidak berekspektasi tinggi, tapi masa hati kita juga bilang gitu? Belum tentu. Hal-hal yang diluar kendali inilah yang bikin orang stres gak karuan. Penginnya sih gak berharap jadian sama si A, sumpah pengen banget gak berharap kayak gitu. Tapi GIMANA, kalau dikorek-korek dari dalam hati ini pasti pengen banget jadian sama si A. Trus bagaimana cara mengelola ekspektasi?
Daripada denying atas ekspektasi yang kita inginkan di dalam hati, aku lebih baik memilih untuk approval apa yang aku ingini. Setinggi apapun itu. Jatuh karena kegagalan ekspektasiku itu lebih baik daripada aku bingung sendiri atas apa yang aku mau (hati sama otak gak selaras). Malah kadang jatuh karena kegagalan ekspektasi itu membuat aku merasa "lebih hidup".
Terutama dan utama daripada itu adalah di akhir hidupku aku masih ingin berbaring di ladang harapanku daripada di jurang rasa pesimisku.
Aprilia Widia Andini
No comments:
Post a Comment