(Penulis menulis diatas Tol Pandaan-Malang)
Ya, your feeling is real. Banyak sekali manusia di dunia ini yang merasa bersalah atas perasaannya. Merasa bahwa mereka seharusnya tidak merasakan itu di sebuah kondisi tertentu. Apalagi ketika membandingkan dengan orang lain di kondisi yang sama; "Dia digituin biasa aja tuh, aku kok baper sih.". Dengan mikir gitu dijamin makin mudah untuk membenci diri sendiri.
Percayalah, setiap orang punya kondisinya masing-masing. Latar belakang cerita, kisah, dan momen adalah pembentuk utama kita saat ini. Boleh kita bilang kita sama dari segi umur, tingkat pendidikan, dan hal-hal terukur lainnya. Tapi tunggu dulu, kalau menyangkut masalah rasa tentu setiap orang akan memiliki pendapat yang berbeda.
Tidak usah jauh-jauh, aku bisa jadi suka banget sama musik beraliran folk atau istilahnya yang genjrengan gitarnya bikin mendayu-dayu. Temen sepermainanku bisa jadi nggak suka itu dan lebih suka mendengar orang mengaji. Ya, itu gak masalah sama sekali dan sebenernya dari situ kita bisa belajar buat menghargai selera orang terlebih perasaan mereka terhadap sesuatu.
Kalau kisahku pribadi, ya jujur, aku mudah suka sama orang apalagi kalau ngobrolnya nyambung. Mungkin karna aku jarang mendapatkan afeksi sekecil apapun dari lawan jenis, sehingga ketika afeksi itu muncul (meskipun kecil) aku akan membalasnya dengan baik dan menjaganya. Tentu teman-teman yang mempunyai latar belakang kisah yang jauh lebih baik bersama lawan jenis akan menganggapku, "Halah baper ae kon" dan sejenisnya. Tapi ya gimana ini yang aku rasa dan aku tidak bisa mengontrol itu. Dan yang terutama, perasaan itu nyata. Bukan hasil dari reaksi berlebihan terhadap suatu kondisi.
Ketika orang menyalahkanmu karena perasaanmu, yang salah mereka karena tidak mengerti, bukan salahmu. Mereka gak ngerti momen-momen yang membentukmu hingga menjadi kamu yang sekarang. Apa yang mereka nilai dari kamu hanya pada hal-hal yang kelihatan, padahal perasaan itu nggak kelihatan dan jauh lebih dari itu.
Bisa jadi anak berusia 12 tahun dengan ajaran orang tua yang tidak baik akan merasa marah luar biasa ketika mendapatkan nilai jelek. Tapi seorang mahasiswa semester 4 bisa jadi pergi karaoke setelah nilai UTSnya hancur. Kedua hal itu memang tidak berbanding dan meskipun dengan subjek yang sama, masih tidak bisa diperbandingkan sampai kapanpun.
Menjadi dewasa bukan berarti tidak merasakan apapun. Kecewa, sedih, dan rasa bersalah, itu adalah perasaan yang nyata dan bukan dongeng belaka. Menjadi dewasa bukan berarti tidak merasakan itu semua tapi menjadi lebih peka dan menghargai apa yang kamu rasa. Menjadi dewasa berarti mengerti dan memahami dirimu sendiri, mengetahui how to overcome the feeling dan cara merespon perasaan itu dengan benar sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang sudah kamu lewati.
Aprilia Widia Andini
No comments:
Post a Comment