Tidak, Aku Tidak Baik-baik Saja

Di media sosial milikku sedang ribut karena adik tingkat di kampus sedang melaksanakan sidang akhir mereka. Aku turut berbahagia dengan keberhasilan perjuangan mereka mengerjakan TA, meskipun euforia itu malah mengingatkanku bahwa sudah setahun ini aku tidak memiliki pencapaian yang berarti setelah sidang akhir.

Mungkin kegagalan terbesar dan yang akan terus menerus kuingat adalah kegagalan tes masuk PNS bulan Maret kemarin. Sejak wisuda, targetku sudah sangat jelas; menjadi abdi negara di salah satu kementerian di negara ini. Target ini menyebabkanku abai dengan kesempatan-kesempatan lainnya. Sehingga saat aku tereliminasi pada tes awal, runtuh sudah angan-anganku terhadap masa depan. Padahal kalau dipikir-pikir jarak aku wisuda hingga tes PNS itu cukup jauh. Banyak sekali yang bisa kulakukan dan kugapai sebelum itu. Aku baru sadar dulu aku terlalu terobsesi dan menganggap menjalani hidup sebagai PNS adalah satu-satunya jalan hidup yang harus kulalui.

Penyesalan terbesar karena obsesi itu adalah aku kehilangan kesempatan bekerja di salah satu perusahaan grafik digital yang berbasis di Malang tapi terkenalnya udah internasional. Ada 2 posisi yang aku pingin banget apply, padahal kesempatan itu menurutku cukup besar karena mereka jarang buka lowongan. Tapi saat itu aku masih keukeuh, "kalo ketrima gimana ya, nanti aku gak bisa PNS.", lagi-lagi karena obsesi bodoh itu aku mengabaikan lowongan pekerjaan yang mungkin tidak akan terbuka lagi itu.

Tidak, aku tidak merasa sakit hati berlebihan saat tertolak PNS. Lebih ke perasaan kosong yang aneh, karena sudah tidak ada lagi target yang ingin kucapai. Aku terlalu fokus sehingga aku tidak menyiapkan rencana B. Aku tidak berlebihan menyalahkan diri sendiri, karena aku sangat yakin aku sudah cukup berjuang dan aku benar-benar berterima kasih pada diriku karena hal itu.

Obsesi itu jugalah yang menghantarkan aku ke bencana terbesar dalam badai kehidupanku di umur 23. Pekerjaan sulit diraih ditambah lagi wabah corona yang menyerang seluruh dunia. Bahkan aku tidak pernah terbayang sesuatu yang lebih menyesakkan daripada ini. Oh ya, meskipun sudah dicanangkannya adaptasi situasi baru oleh pemerintah, ya tetap saja, aku tidak boleh berkelana kemana-mana oleh Yang Mulia Ibunda. Meskipun tiap hari rasanya aku sudah cukup merayunya untuk memperbolehkanku berkelana mencari manis asam kehidupan. Sudah lengkaplah tekanan hidupku.

Tentu, aku sangat tidak suka ketika diriku membanding-bandingkan hidup dengan orang lain. Jujur, ketika mereka mengeluh soal kerjaan di media sosial, ada semacam rasa perih yang menyebabkan kembali menghela nafas cukup panjang. Tidak, aku bukan malaikat, aku bukan sedang berempati terhadap masalah mereka, tapi aku sedang iri. Aku juga ingin mengeluh soal pekerjaan, aku merasa itu hal yang paling "hidup" saat ini.

Jadi, ketika orang melihatku baik-baik saja, mereka mungkin tidak mengerti bahwa aku sedang berusaha untuk tidak mengekspresikannya. Karena apa tidak jadi lucu kalau aku mengeluh di sosial media tentang bagaimana aku tidur seharian sambil nonton netflix?

No comments:

Post a Comment