Ternyata Apa

Kemarin diajak kakak perempuanku untuk menemaninya mengunjungi toko buku di dekat rumah nenek. Toko buku yang lumayan terkenal karena sudah banyak cabangnya di berbagai kota besar di Indonesia. Aku bukan tipe orang yang suka ke toko buku, kecuali ada komik conan volume terbaru yang baru rilis. Itu pun datang, langsung menuju rak komik (yang posisinya sudah aku tahu betul) lalu bergegas ke kasir, membayar dan pulang.

Hari itu, karena aku diajak kakakku, aku jadi cukup lama berada di toko buku. Tetap, dengan rutinitas toko bukuku, aku segera ke rak komik, melihat komik conan volume terbaru. Hasilnya nihil. Volume terakhir yang tersedia adalah volume yang sudah aku beli semenjak setahun lalu. Kecewanya bukan main, karena biasanya kalau aku melewatkan satu tahun, maka seharusnya ada 2-3 volume baru yang belum terbeli. Analisisku karena ini sedang musim corona, maka tanggal rilis volume baru akan mundur agak jauh.

Jadilah aku menyusuri rak sosial dan politik yang tak jauh dari sana. Baru membaca 2-3 sinopsis buku best seller, perutku langsung agak bergejolak. Bukan ranahku banget sampai-sampai sistem pencernaanku menolaknya. Bergeserlah aku ke rak filosofi. Makin bergejolaklah perutku padahal belum baca sinopsis buku apapun. Tapi ada satu cover yang menarik perhatianku, sehingga kupukul perutku untuk diam sejenak dan bekerja sama dengan keingintahuanku yang tidak diduga ini.

Judul novelnya "I want to die.... toppoki....". Lupa hehe. Pokoknya menarik deh covernya, dan sangking panjangnya judulnya, aku pun ikut tertarik baca. Pengen ketawa banget karena ada orang yang mau mengakhiri hidupnya tapi masih mikirin makanan. Pingin banget beli sayangnya, dengan statusku yang pengangguran, aku harus menunda pembeliannya. 

Kakakku mendekat dan kepo sama buku yang aku pegang. Dia ikut tertawa melihat betapa anehnya plot yang dibawa di buku itu. Kayak kita banget; satu sisi pingin mati tapi di sisi lain mikirin makanan.

"Kamu lek suka, aku ada buku kayak gini. Judulnya ..... masa bodoh....." kata kakakku. Agak kaget juga dia punya buku motivasi-motivasi kayak gitu. Secara sepanjang hari hidupnya terlihat unmotivated dan flat-flat ae.

-

Sepulang dari toko buku, kutanyakan buku itu pada kakakku. Karena tiba-tiba ingin sekali baca buku motivasi, karena akhir-akhir ini sulit sekali punya motivasi.

Bukunya bersampul orange dengan judul berfont besar yang berwarna hitam.

Semenjak diberi, aku baru menyelesaikan 3/4nya. Ya memang, aku orangnya sulit meluangkan waktu untuk membaca kecuali handphoneku habis baterai dan tidak ada hiburan lain kecuali buku.

Tapi jujur ini buka bikin pikiranku terbuka. Banyak banget hal baik dan membuatku merasa semakin tenang dalam melihat hidup ini. Aku diajari untuk tidak berusaha, aku diajari untuk mengabaikan, aku diajari untuk mengontrol emosi negatifku, aku diajari untuk gagal dan menerima kenyataan, dan aku diajari bahwa hidupku adalah hidup yang biasa saja.

Aku melihat hidup ini melalui teropong yang baru, hidup yang sama, tapi cara pandang yang baru. Per halamannya aku selalu ditampar dengan kenyataan-kenyataan miris dan gila (dan sayangnya itu benar terjadi) yang harus aku terima, bukan aku tolak.

Apa yang suka adalah bagaimana si penulis mengajak untuk melihat kehidupan dengan cara sederhana. Jane urip iki mung mampir ngombe tok. Sepertinya itu yang hendak disampaikan si penulis. Ketika kita melihat orang lain minum coca-cola, sedangkan kita air putih. Lantas apa masalahnya? 

Yang aku sadari adalah bahwa aku berusaha menjalani hidup dengan sempurna, lantaran menghindari kalimat pedas orang lain, menghindari cemooh kepada orang tuaku, menghindari malu yang kubuat sendiri. Faktanya orang mencemooh, mengejek, dan melempar tai kepadamu karena mereka tidak benar-benar peduli. Hei, mereka punya kehidupannya sendiri lho, gak bakal ngurusin hidupmu kecuali hanya untuk basa-basi. Lalu apa? 10 menit kemudian mereka lupa jalan cerita hidupmu.

Kehidupan yang dirancang untuk sempurna itu adalah kesia-siaan. Tidak ada yang sempurna, kamu akan selalu merasa kurang dan kurang. Kamu akan selalu pulang dengan raga yang lelah dan pikiran yang berat. Yang harus dilakukan? Menerima. Jangan sekali-sekali berpikir hidupku paling berat. Ya... faktanya kita tidak pernah tahu dan yang aku yakini setiap orang memiliki masalahnya masing-masing.

Cara menjalani hidup yang sederhana menurut sang penulis adalah bagaimana kita menetapkan nilai dan standart kita. Dulu pas organisasi mahasiswa kebetulan aku harus menetapkan TUK (Tolak Ukur Keberhasilan) dalam proker yang kujalani. Ingat betul dulu penetapan TUKnya gak mau yang ngayal, maunya yang "mungkin berhasil" biar TUK itu gampang terpenuhi dan dinilai berhasil. Sebenernya sesimpel itu ngatur hidup.

Kita tahu batas dan kemampuan kita, aku tidak mungkin bercita-cita menjual 1 juta kopi album dengan suaraku yang bikin orang merinding. Aku tidak mungkin bercita-cita jadi presiden dengan otakku yang sulit diajak berpikir. Banyak ketidak mungkinan yang seharusnya kita sadari dan terima. Sekali lagi, kamu tahu batasan dan kemampuanmu, silahkan saja kalau mau jadi next Taylor Swift atau tukang kebun sukses ketika kamu tahu apa yang kamu punya dan kamu bisa mengembangkan itu.

Sederhana. Tentuin maumu berdasarkan batasan dan kemampuanmu. Gagal? Pasti. Tapi karena kamu tau kemampuanmu mumpuni, seharusnya kamu tidak cepat menyerah. Kalo gagal dan kamu menyerah, kamu salah tentuin targetmu. Gitu aja sih.


Aprilia Widia Andini

No comments:

Post a Comment