Satu Dibagi Tak Hingga Sama Dengan

 Setelah menghirup beberapa kali nafas panjang, Wisa menaikkan sudut bibirnya. Sedikit sekali hingga Sidu, gadis berkuncir kuda didepannya tak dapat menyadarinya.


"Maafkan aku" ucap Sidu yang sudah kesekian kalinya. Gadis itu mengulanginya karena Wisa tak membalas pernyataannya.


Wisa membuang pandangannya ke jalanan yang lengang di senin malam itu. Suasana hening ini benar-benar membantunya mengembalikan kewarasannya secepat yang ia inginkan.


Setelah sengaja diam beberapa lama untuk mengumpulkan energinya yang tiba-tiba surut, gadis berlesung pipit itu menepuk tangan Sidu dengan tenang.


"Nggak papa. Maaf aku perlu waktu agak lama untuk mencerna kata-katamu. Sejujurnya itu menyentakku hingga aku perlu diam untuk berpikir." Wisa tersenyum.


"Jujur, tiga tahun lalu aku benar-benar egois. Aku mengakuinya." Sidu menundukkan kepalanya. Malu.


"Tiga tahun lalu ya. Sudah selama itu. Apakah kau menikmatinya?" Ucap Wisa dengan hati-hati. "Kau tahu, waktu itu rasanya sangat hancur, saat tiba-tiba kekasihmu berpaling darimu dengan alasan yang tak masuk akal."


Sidu semakin membenamkan kepalanya. Tak berani menatap Wisa yang sedang memutarbalikkan waktu, membeberkan semua kebejatannya waktu itu. Hatinya hancur mengetahui bahwa ia ternyata orang yang licik dan kejam.


"Menyebarkan berita palsu bahwa aku adalah wanita nakal, tidak benar, tidak bermoral, dan lebih parah......" Wisa memberi jeda, mengambil satu kali nafas. "Aku tidak waras?"


Sidu mulai meneteskan air matanya. Detail keburukan perilakunya waktu itu benar-benar menjatuhkan harga dirinya. Tiga tahun lalu semua tampak benar, karena yang ada dipikirannya bagaimana menjadikan Trisna, kekasih Wisa saat itu menjadi miliknya. 


Wisa tertawa renyah. Ditepuknya bahu Sidu. "Sidu, sungguh, tidak apa-apa" kata Wisa menenangkan.


"Kau tahu, Sidu? Bahwa dunia berjalan sebagaimana semestinya. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua memang seharusnya terjadi demikian." Wisa mulai menjelaskan. "Jadi apakah ketika aku tidak terima dengan perilakumu tiga tahun lalu, itu membuat kita kembali ke tiga tahun lalu?


"Sudahlah, kita tidak bisa memutar waktu. Hari ini ada kehidupan yang harus kita hidupi. Memikirkan kejadian tiga tahun lalu, apalagi menyesalinya, tidak akan membuatnya berubah kan?"


Sidu berkata lirih, "Maaf."


"Jujur, sulit untuk memaafkan orang sepertimu. Tapi, andai kata tiga tahun lalu kau tak berbuat demikian, apakah Tresna akan tetap bersamaku sekarang? Apa ada jaminan tidak ada orang lain yang menghalangi kita seperti peranmu itu? Tidak ada yang tahu, karena memang kejadiannya harus seperti itu." Wisa menjelaskan dengan nada yang lembut, tampak tak ada emosi. Ia lalu mengambil minuman hangat didepannya dan mulai menyeruputnya.


"Dari kejadian ini, aku hanya berharap kamu menikmati perjalanan hidupmu. Apa yang kamu lakukan, seharusnya sudah kamu timbang resikonya, sehingga hasil dari yang kamu lakukan bisa benar-benar kamu nikmati. Toh apa poinnya jika setelah melakukannya kamu tidak menikmati hasilnya?" kata Wisa sambil menaruh cangkir cokelat hangat didepannya.


"Rasanya, bodoh sekali aku mengatakan ini, tapi terima kasih Wisa. Aku layak belajar dari kesalahan. Dan aku cukup senang bahwa itu adalah kau. Kamu tahu, perkataanmu memang lebih membawa perasaan kecewa pada diriku sendiri lebih dalam. Tapi, aku belajar. Aku kalah dan aku belajar."


Wisa tersenyum mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Sidu. "Ya memang pilihan dalam hidup ini hanya dua: menang atau belajar. Di kasus ini mungkin kau adalah si antagonis, di kasus lain mungkin aku adalah si antagonis, manusia memang abu-abu jadi kau jangan terlalu merasa bersalah, aku bukan orang suci, aku bisa jadi juga menyakiti orang lain seperti kau menyakitiku.


"Ingat, Sidu. Satu dibagi tak hingga sama dengan nol kan? Berarti yang dinamakan kebetulan memang benar-benar tak ada. Kejadian 3 tahun lalu banyak probabilitasnya kan? Misal aku tidak sekelas dengan kamu, aku tidak menyapamu, kamu tidak meminjamkan bolpen ke aku, aku tidak mengenalkan Tresna padamu, dan kejadian tak hingga lainnya yang mungkin terjadi. Lalu ketika aku menggila karena hal yang sudah terjadi, apakah nilaiku?"


"Aku banyak belajar darimu, Wisa."


"Tiap pagi, aku hanya berdoa untuk menjadi orang yang lebih bijaksana dari hari kemarin."

No comments:

Post a Comment