Kamar Sendiri

Aku sudah titip salam kepada burung pagi itu, jikalau sudah petang, jangan bangunkan aku. Aku benar-benar tidak mau bangun, sampai sisa-sisa kebencianku habis diburu oleh mimpi. Hingga akal sehatku kembali pulih. Aku sudah memilih, kamar ini dan kasur ini akan menjadi temanku menghabiskan hari ini, jadi jangan seorang pun yang menemani aku, setidaknya untuk hari ini saja.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas suaramu yang parau, yang terisak karena rasa bencimu terhadap dirimu sendiri. Bagaimana nafasmu yang tidak beraturan mencoba tenang dan menjelaskan apa yang sedang terjadi, meskipun aku tau kau membencinya. Biarlah atmosfir kebencian kita hari itu terbuang hingga tak bersisa, sehingga kita tidak dibuai lagi oleh harapan apalagi mimpi mengenai anak cucu kelak. Sebab mengakhiri bukanlah perkara mudah, namun tidak juga perkara yang susah. Ia hanya perlu jujur pada hati nuranimu.

Pergilah, aku benar-benar mengikhlaskanmu. Janganlah kau menghabiskan waktu bersama orang yang tidak kamu cintai. Sesungguhnya rasa cinta itu hanyalah nafsu sesaat yang bisa menyumblim ke udara ketika ia menemukankenyamanan yang baru. Cinta itu hanyalah sebuah kata penjelas untuk mendeskripsikan perasaan rumit yang manusia rasakan. Ia hanyalah sebuah bualan agar orang mudah percaya dalam kesesakkan.

"Jo, temani aku malam ini." aku berusaha tegar dan melupakan.

"Kenapa lagi?"

"Kacau. Tolong. Aku ingin kita." 

Aku menyukai Jo, karena aku tidak mempunyai perasaan yang rumit dengannya. Aku hanya suka dia karena dia bahkan lebih dari sekedar ada. Dia benar-benar bisa diandalkan dalam situasi apapun.

Karena sifatku yang tidak menentu, sering sekali aku memanggilnya untuk menemani malamku. Aku tidak mau dibunuh oleh sepi, apalagi menghabiskan waktuku dengan isak tangis. Aku hanya ingin sebuah kenikmatan yang seharusnya bisa dirasakan oleh manusia tanpa lagi mengingat bagaimana rasa sakit itu perlahan-lahan menggerogoti tenggorakanku.

Jo tahu kamar sendiriku. Dia tahu kacau adalah sebuah kata kunci untuk menyelami malam yang begitu gelap. Untuk mengganti konotasi negatif itu menjadi sesuatu kenikmatan duniawi. Aku suka karena dia tidak banyak tanya, terutama untuk hal-hal sensitif seperti ini. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa agar aku dibuai lagi oleh kenikmatan dan melupakan rasa sakit hatiku.

"Pulanglah, Jo. Terima kasih." kataku sambil memakai kembali dalamanku.

"Kau tidak mau cerita?"

Aku diam sambil mengambil piyamaku dari dalam lemari. Beberapa saat kemudian, pintu ditutup. Jo pergi.

***

No comments:

Post a Comment