Masih Bolehkah Aku Menyukaimu?

Musim kemarau kemarin, aku masih menyukaimu. Aku sering menatapmu lewat jendela kaca di belokan tangga sekolah kita. Kamu dulu suka menyendiri di sudut tribun lapangan, sambil membaca novel yang menurutku agak "berat" untuk dibaca anak seumuran kita. Kacamatamu sering kali merosot karena terlalu dalam kamu mengikuti cerita didalam novel itu. Roti 2500an yang kau beli juga tidak pernah absen menemani kegiatan yang paling membosankanmu itu.

"Tan!" seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kesal, apalagi mendapatkan wajah mengjengkelkan di hadapanku.

"Apaan sih!"

"Galak amat. Kantin?" Eko menawarkan dengan mata berbinar. Aku tahu dia hanya diburu lapar karena habis dihukum karena tidak mengerjakan PR Pak Irno seharian.

"Gak liat badanku bengkak gini." Aku mengabaikannya dan kembali mencari keberadaan sosok yang sedaritadi kupandangi dari kaca jendela ini, tapi naas, dia sudah pergi. "Ya udah ayo!"

***
Hari itu aku sengaja menyiapkan payung dari rumah. Ramalan mengatakan hari ini hujan akan turun begitu deras pada sore hari. Kesempatan yang bagus, mengingat kalau dia hari ini pulang sore karena ekskul jurnalistik yang dia ikuti. Aku bisa pura-pura pulang terlambat karena habis membaca di perpus seharian dan tidak sengaja bertemu dengannya saat akan pulang. Hal yang paling bisa diprediksi selanjutnya adalah dia tidak menyiapkan payung hari ini, jadi aku bisa menawarkan payungku karena jalan pulang kami sama.

Matahari sudah terbenam, aku tetap memainkan game untuk membunuh rasa sepiku. Sekolah sudah bubar dan hanya terlihat 3-5 orang OSIS yang berkeliaran menunggu mulainya rapat mingguan mereka. Aku berulang kali melihat ke awan, bagaimana bisa hari ini hujan? Bahkan awan saja jarang-jarang ada.

Sudah jam 5 sore. Kalau tidak cepat pulang, bisa-bisa aku dikurung di kamar oleh Bapak seperti kejadian waktu itu. Bukannya takut dikurung di kamar, aku hanya sedih kalau tidak bisa ikut makan malam masakan Ibuk yang enaknya luar biasa.

"Tan, ngapain?"

Sial, aku baru ingat kalau Eko anggota OSIS.

"Nggak ada. Nih mau pulang." aku pura-pura cepat berkemas agar Eko tidak mengetahui rencanaku yang sesungguhnya.

Eko duduk disampingku dan tiba-tiba mengusap punggungku, "Tan, kamu tahu nggak kalau hari ini ekskul jurnalistik ditiadakan?"

"Seriusan?" aku hampir berteriak karena kaget. Sedetik kemudian kuganti raut muka tidak peduliku. "Ya bukan urusankulah, aku bukan anak ekskul itu. Udah ya pulang dulu."

Eko tersenyum penuh arti. Aku cepat-cepat pergi dari sekolah sambil menenteng payung besar yang kuharap-harap jadi jagoanku hari ini. Andai saja aku tidak sebodoh ini.

"Salam buat om sama tante" Eko berteriak dari kejauhan dan aku hanya melambaikan tangan.

***

Bertahun-tahun berlalu dengan segala kebodohanku. Tidak pernah aku berhasil untuk menunjukkan perasaanku padanya. Apakah harus sesulit ini? Tanyaku sering pada akalku sendiri. Mengapa sepertinya semesta tidak pernah berpihak padaku? Kegagalan yang beruntut ini menghiasi masa SMAku yang suram. Tidak ada yang bisa diharapkan dari kisah cinta SMAku.

"Tan, rencana mau kemana habis ini?" aku dan Eko hari ini keluar bersama karena ada janji dengan pihak pembuat buku kenangan. Dia memang selalu merepotkanku.

"Pulanglah. Mau ngapain lagi"

"Masih aja bodoh. Padahal udah mau lulus SMA." sahut Eko. "Maksudku, kamu mau kuliah dimana?"

"Paling di ITS, kebetulan kakak keterima kerja di Surabaya, jadi sekalian bareng. Doain aja Ko."

Eko diam. Terlalu lama hingga aku menoleh melihat wajahnya. Tiba-tiba saja dia membalas menoleh dan menatapku dalam.

"Tan, masih bolehkah aku menyukaimu?"
***

No comments:

Post a Comment