Isu mental health baru-baru ini jadi isu yang lebih menarik daripada perceraian selebritas. Dengan berkembangnya teknologi, masyarakat jadi lebih aware terhadap kesehatan mental. Banyak contoh kasus nelangsa; seorang manusia harus kehilangan nyawanya karena terlalu sering dirundung secara verbal maupun non verbal. Dirisak, dihina, meskipun tidak secara langsung, "katanya" mempengaruhi kesehatan mental seseorang.
Tentu aku disini tidak berbicara tentang kesehatan mental itu sendiri, tapi lebih ingin mendiskusikan bagaimana sebaiknya seorang manusia bertindak terhadap manusia lainnya. Kasus kesehatan mental ini semakin global, ketika seorang selebritas asal Korea bunuh diri dengan diyakini bahwa ia tidak kuat dengan komentar-komentar pedas yang terus menerus diterimanya setiap hari. Yang menjadikanku agak berpikir adalah sebenarnya komentar pedas itu ditujukan saat sang artis ini berbuat "yang tidak biasanya" di mata masyarakat.
"Perbuatan yang tidak biasanya" ini bisa mencakup perilaku menyimpang, berpakaian tidak sesuai adat istiadat yang berlaku, dan lain-lain yang pokoknya bukan termasuk hal yang biasa dilakukan di dalam lingkar sosial masyarakat. Untuk kasus si artis, sebenarnya gak bisa banyak berkomentar karena memang tidak tahu secara utuh kasusnya dan perjalanan si artis. Tapi kalau lihat di lingkup masyarakat sekitar sendiri, aku semakin bingung dengan batasan "merisak" dan "memberi sanksi sosial".
Tentu kalau di Indonesia banyak sekali contoh yang bisa diambil, apalagi artis-artis kontroversial yang kata orang-orang "panjat sosial". Mereka suka memberikan sensasi seperti yang aku sebutkan sebelumnya: "perbuatan yang tidak biasanya". Sehingga perbuatan ini memicu masyarakat melontarkan kalimat-kalimat buruk yang tidak seharusnya dilontarkan kepada seseorang. Mereka pun seolah-olah membiasakan batas antara "sengaja melakukannya untuk mencari perhatian" dan "melakukan itu karena sedang mengalami penyakit mental". Tentu kedua pilihan ini tidak bisa kita lihat secara kasar, harus banyak pendapat ahli yang dapat mempertegas kedua batas ini.
Ketika seorang artis korea meninggal dunia karena bunuh diri, seakan-akan dunia bangun dan mulai menggaungkan awareness terhadap kesehatan mental. Semua orang berlomba-lomba menjadi guru dan menjadi malaikat yang terlihat sangat peduli terhadap kesehatan mental. Beberapa bulan kemudian ada artis A sebut saja melakukan perbuatan aneh dengan mengacungkan jari tengah kepada sekawanan demonstran. Mungkin di pribadi yang sama, akun yang sama, lontaran sikapnya tidak sama. Ia memposting, "Ah dasar cari sensasi".
"Tidak apa-apa menurut saya, itu adalah norma sosial yang harus diterima artis A"
"Waduh, kalau begitu bagaimana batas norma sosial ini? Batas parahnya kata-kata yang dilontarkan?"
"Hm, itu terserah masyarakat yang menilai. Rasanya masyarakat tau mana yang bisa dilontarkan mana yang tidak pantas dilontarkan."
"Waduh, sulit. Kalau batas sakit hatinya seseorang bagaimana? Apakah masyarakat tahu?"
Tentu sulit untuk mengetahui isi hati seseorang, pun kita tidak bisa asal menjustifikasi bahwa "perbuatan yang tidak biasanya" yang dilakukan seorang ini adalah sekedar cari sensasi atau memang sebuah tanda ia butuh pertolongan bukannya hinaan.
Well, who knows?
Jadi mending diem aja. Kalau dia memang berniat cari sensasi, dia tidak akan mendapatkannya, jika dia memang sakit secara mental, kita dihindarkan dari perbuatan yang tidak patut. Menghindarkan kita dari salah satu tersangka pembunuhan massal.
No comments:
Post a Comment