On Miserable Night

Waktu itu, siang yang seperti biasa, tidak terik tapi juga tidak hujan. Aku datang bersama teman seangkatan yang sekelas di satu mata kuliah yang sama. Kebetulan mata kuliah gabungan dengan jurusan lainnya, sehingga ruang kelasnya pun berada jurusan lain. Sangat jelas di ingatanku, waktu itu aku lagi tidak bermasalah dengan hati. Suasana hatiku baik-baik saja, tidak senang, juga tidak lagi terpuruk. Tapi aku belum sadar bahwa aku akan dijatuhkan begitu keras.

Waktu itu, dosen memanggil beberapa orang untuk maju ke depan, memeragakan sebuah adegan dalam sebuah kondisi sosial. Aku terpanggil dengan beberapa teman yang kukenal dan yang tidak kukenal. Tentu maju dengan malu-malu karena tidak terbiasa berada didepan banyak orang apalagi banyak yang tidak kenal, dan harus melakukan suatu adegan.

Waktu itu, aku ingat aku maju hampir terakhir. Jadi per orang yang terpanggil disuruh memeragakan kejadian yang sama lalu akan langsung dinilai. Sangat ingat, bahwa banyak kaum laki-laki di ruangan itu.

Seorang temanku maju, memeragakan, diberi nilai hampir sempurna dengan orang-orang. Sang dosen nyeletuk.

"Ah kamu gak jujur nih" Mungkin karena dianggap nilainya subjektif, karena nggak menilai dari peragaan itu namun dari paras.

Waktu itu, aku ingat sekelas tertawa lepas. Lalu majulah teman selanjutnya diberi juga nilai baik oleh teman-teman waktu itu.

"Ah kan gak jujur lagi nih." Dosen itu nyeletuk. Sekelas tertawa lagi.

Anehnya, yang diperlakukan begitu hanya mahasiswa yang perempuan. Kalau laki-laki, tidak ada celetukan yang keluar seperti itu. Setelah beberapa perempuan yang maju dan diceletuki hal yang hampir sama. Majulah aku yang semakin tidak karuan deg-degannya.

Seperti yang sebelumnya. Aku memeragakan contoh kejadian yang ada di script. Tentu aku memeragakannya seadanya, pun aku bukan aktris yang bisa dengan luwesnya bersandiwara didepan orang banyak. Setelah peragaan selesai, aku menunggu nilaiku keluar.

"81" celetuk seorang laki-laki dari belakang.

Nilai terendah dari nilai yang pernah dikeluarkan. Jarak nilainya pun agak jauh dari yang sebelum sebelumnya. Tapi tentu waktu itu aku nggak masalah sama sekali, toh aku juga asal-asalan seperti halnya yang lainnya. Tapi yang membuatku begitu geram adalah ketika si dosen nyeletuk,

"Nah sekarang baru jujur."

Sekelas tertawa tapi sangat riuh rendah, hingga yang kutangkap hanya nada cekikikan dari beberapa laki-laki di baris depan. Entah apa yang lucu, bagiku, itu menjengkelkan.

Waktu itu, aku ingat tanganku sampai gemetaran menahan amarah. Toh nggak mungkin aku menangis atau marah didepan orang banyak. Bagaimanapun aku butuh nilai bagus dari kelas ini. Jadi yang kulakukan hanya tersenyum layaknya orang bodoh yang tidak mengerti becandaan macam ini.

Waktu itu, aku ingat. Segera setelah selesai kelas, aku pulang tergesa-gesa. Beberapa temanku tidak kusapa. Aku hanya membutuhkan ruang sendiriku, untuk meratapi dan memaki diriku sendiri yang tidak bisa jujur dan membiarkan hal-hal bodoh terjadi.

Aku tahu, sangat tahu, aku berparas tak seelok wanita-wanita yang pandai berdandan. Aku tahu, sangat tahu, para pria sibuk mengomel tentang betapa buruk baiknya paras wanita, bahkan wanita yang tidak dikenalnya. Aku tahu, sangat tahu, bahwa sebagaimanapun kita menolak fakta bahwa cinta tak datang dari penampilan, kita akan segera ditampar untuk kembali ke kenyataan yang ada bahwa; pria lebih menghormati perempuan yang berpenampilan baik.

Aku tidak mengomel tentang bagaimana orang lain harus berperilaku kepada sesama manusia. Itu tidak akan bisa sampai kapanpun, aku kondisikan. Tapi aku akan terus mengingat potongan-potongan adegan yang menyakiti harga diriku.

Waktu itu, sekarang, dan untuk entah kapan, aku ingat.

Aku akan terus mengingatnya.

Aprilia Widia Andini

No comments:

Post a Comment