Twenty Two Years Old but Have Not Kissed Yet

Ciuman pertama, seperti layaknya di buku dongeng, adalah momen yang paling dinantikan oleh setiap insan manusia. Meskipun hal ini masih tergolong perilaku amoral bagi masyarakat Indonesia yang belum terikat di KUA, nyatanya banyak dari mereka yang sudah berciuman dibawah usia dewasa bahkan belum terikat perkawinan. Ciuman memang bisa dijadikan satu pematik hubungan dewasa yang lebih jauh, tapi ada juga orang yang berciuman hanya untuk mengekspresikan rasa sayang mereka terhadap pasangan.

“Jika suka sama orang, kita akan selalu ingin menyentuhnya kan?” – Hai, Miko

Tapi disini aku nggak mau membahas tentang bagaimana prosesi ciuman itu sendiri, bagaimana masyarakat tua menanggapinya, atau bagaimana agama melihat fenomena ini. Aku lebih ingin mengutarakan pendapatku terhadap orang-orang yang merasa dirinya tertinggal dari yang lainnya hanya karena belum merasakan ciuman pertama.

Pernah baca di sebuah artikel, lebih dari 80% remaja dibawah umur 20 tahun sudah mengalami fase first kiss. Tentu ciuman itu sendiri tidak dikategorikan secara detail seperti peck kiss, french kiss, atau kiss-kiss lainnya, pokoknya udah gitu aja dah. Membaca ini tentu aku pribadi agak shock, secara di umurku yang akan menginjak 23 tahun ini, aku belum pernah mengalami fase tersebut.

Tertinggal. Mungkin itu hal yang aku rasakan. Apalagi aku dikelilingi oleh manusia-manusia “normal” yang sudah melewati fase ciuman pertama mereka lebih awal. Tentu semakin merasa tertinggal jauh. Tentu gak bisa bohong, aku pun juga kadang kala merasa kalah dan merasa harus cepat-cepat melakukan ciuman pertama agar tidak tertinggal dari yang lainnya.

Apakah normal?

Tentu. Manusia memang ditakdirkan mempunyai daya saing dengan manusia lainnya. Merasa semua-muanya adalah sebuah kompetisi. Jadi entah dari segi apapun (pekerjaan, hubungan, prestasi, dan lainnya), pasti tidak akan mau kalah dengan manusia lainnya. Pun dalam kasus ini, aku pribadi kadang merasa malu karena belum melakukannya. Merasa diri ini tidak layak, tidak disayangi, dan tidak dihargai oleh siapapun. Perasaan malu itu jadi menjalar ke perasaan menyalahkan diri sendiri karena tidak menjadi pribadi yang bisa dicintai oleh orang lain. Hm, jadi rumit.

Sebenarnya yang aku mau garis bawahi dalam fenomena ini adalah, betapa kita sering kali menyalahkan diri sendiri terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki tolak ukur pasti. Contoh ciuman pertama. Dalam umur yang hamper menginjak seperempat baya ini, aku belum mendapatkan ciuman pertamaku. Aku tahu ini karena aku jelek, tidak disukai sama orang lain, tidak ada yang mencintaiku, dan lain-lain. Padahal apakah ciuman pertama mempunyai masa berlaku? Apakah ada masa expired untuk ciuman pertama? Oke, ciuman pertama maksimal dilakukan sebelum umur 30 tahun. Apakah begitu? Jika tidak mengapa kita menyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang tidak memiliki tolak ukur?

Mungkin kalau mau beranjak dari ciuman pertama sejenak, aku bisa ambil contoh kesuksesan. Apa sih tolak ukur kesuksesan? Punya uang? Bisa liburan ke paris? Punya rumah yang ada liftnya? Siapa sih yang memberi tolak ukur itu? Oke, misal diri sendiri. Tapi apakah perlu kalau “tolak ukur yang kamu bikin sendiri” itu gagal, maka kamu menyalahkan diri sendiri? Oh ya tolong bedakan menyalahkan diri sendiri dengan mengevaluasi ya. Menyalahkan diri sendiri itu keadaan terpuruk yang kamu gak bisa menemui solusi terhadap kesalahanmu, ya pokoknya kamu salah, pokoknya aku ini males belajar, pokoknya aku ini bodoh. Sedangkan kalau evaluasi, kamu tau apa kesalahan dan solusi untuk memperbaiki itu.

Ya inti dari semuanya sebenarnya hanyalah berasal pikiranku akhir-akhir ini terhadap perilakuku sendiri. Sering kali aku menjadikan orang lain sebuah indikator; kalau aku gak sama kayak dia berarti aku gagal dan aku buruk. Padahal hidup bukan kompetisi. Untuk kamu yang sedang merasa tertinggal, boleh merasa begitu tapi jangan terus-terusan ya. You got nothing wrong kok. Ayo jalan lagi, ayo melangkah lagi. Apa yang kamu lakukan tidak pernah salah, mungkin gagal, tapi kita bisa coba cara lain.

No comments:

Post a Comment