Ciuman pertama, seperti layaknya di buku dongeng, adalah
momen yang paling dinantikan oleh setiap insan manusia. Meskipun hal ini masih
tergolong perilaku amoral bagi masyarakat Indonesia yang belum terikat di KUA,
nyatanya banyak dari mereka yang sudah berciuman dibawah usia dewasa bahkan
belum terikat perkawinan. Ciuman memang bisa dijadikan satu pematik hubungan
dewasa yang lebih jauh, tapi ada juga orang yang berciuman hanya untuk mengekspresikan
rasa sayang mereka terhadap pasangan.
“Jika suka sama orang, kita akan selalu ingin menyentuhnya kan?” – Hai, Miko
Tapi disini aku nggak mau membahas tentang bagaimana prosesi
ciuman itu sendiri, bagaimana masyarakat tua menanggapinya, atau bagaimana agama
melihat fenomena ini. Aku lebih ingin mengutarakan pendapatku terhadap
orang-orang yang merasa dirinya tertinggal dari yang lainnya hanya karena belum
merasakan ciuman pertama.
Pernah baca di sebuah artikel, lebih dari 80% remaja dibawah umur 20
tahun sudah mengalami fase first kiss. Tentu ciuman itu sendiri tidak dikategorikan secara
detail seperti peck kiss, french kiss, atau kiss-kiss lainnya, pokoknya udah gitu aja dah. Membaca ini tentu
aku pribadi agak shock, secara di umurku yang akan menginjak 23 tahun ini, aku
belum pernah mengalami fase tersebut.
Tertinggal. Mungkin itu hal yang aku rasakan. Apalagi aku
dikelilingi oleh manusia-manusia “normal” yang sudah melewati fase ciuman
pertama mereka lebih awal. Tentu semakin merasa tertinggal jauh. Tentu gak bisa
bohong, aku pun juga kadang kala merasa kalah dan merasa harus cepat-cepat
melakukan ciuman pertama agar tidak tertinggal dari yang lainnya.
Apakah normal?
Tentu. Manusia memang ditakdirkan mempunyai daya saing
dengan manusia lainnya. Merasa semua-muanya adalah sebuah kompetisi. Jadi entah
dari segi apapun (pekerjaan, hubungan, prestasi, dan lainnya), pasti tidak akan
mau kalah dengan manusia lainnya. Pun dalam kasus ini, aku pribadi kadang
merasa malu karena belum melakukannya. Merasa diri ini tidak layak, tidak
disayangi, dan tidak dihargai oleh siapapun. Perasaan malu itu jadi menjalar ke
perasaan menyalahkan diri sendiri karena tidak menjadi pribadi yang bisa
dicintai oleh orang lain. Hm, jadi rumit.
Sebenarnya yang aku mau garis bawahi dalam fenomena ini
adalah, betapa kita sering kali menyalahkan diri sendiri terhadap sesuatu yang
sebenarnya tidak memiliki tolak ukur pasti. Contoh ciuman pertama. Dalam umur
yang hamper menginjak seperempat baya ini, aku belum mendapatkan ciuman
pertamaku. Aku tahu ini karena aku jelek, tidak disukai sama orang lain, tidak
ada yang mencintaiku, dan lain-lain. Padahal apakah ciuman pertama mempunyai
masa berlaku? Apakah ada masa expired
untuk ciuman pertama? Oke, ciuman pertama maksimal dilakukan sebelum umur 30
tahun. Apakah begitu? Jika tidak mengapa kita menyalahkan diri sendiri untuk
sesuatu yang tidak memiliki tolak ukur?
Mungkin kalau mau beranjak dari ciuman pertama sejenak, aku
bisa ambil contoh kesuksesan. Apa sih tolak ukur kesuksesan? Punya uang? Bisa
liburan ke paris? Punya rumah yang ada liftnya? Siapa sih yang memberi tolak
ukur itu? Oke, misal diri sendiri. Tapi apakah perlu kalau “tolak ukur yang
kamu bikin sendiri” itu gagal, maka kamu menyalahkan diri sendiri? Oh ya tolong
bedakan menyalahkan diri sendiri dengan mengevaluasi ya. Menyalahkan diri
sendiri itu keadaan terpuruk yang kamu gak bisa menemui solusi terhadap
kesalahanmu, ya pokoknya kamu salah, pokoknya aku ini males belajar, pokoknya
aku ini bodoh. Sedangkan kalau evaluasi, kamu tau apa kesalahan dan solusi
untuk memperbaiki itu.
Ya inti dari semuanya sebenarnya hanyalah berasal pikiranku akhir-akhir ini terhadap perilakuku sendiri. Sering kali aku menjadikan orang lain sebuah indikator; kalau aku gak sama kayak dia berarti aku gagal dan aku buruk. Padahal hidup bukan kompetisi. Untuk kamu yang sedang merasa tertinggal, boleh merasa begitu tapi jangan terus-terusan ya. You got nothing wrong kok. Ayo jalan lagi, ayo melangkah lagi. Apa yang kamu lakukan tidak pernah salah, mungkin gagal, tapi kita bisa coba cara lain.
No comments:
Post a Comment