Percakapan Terakhir di Bawah Pohon Natal

Aku lupa ketika ada orang bilang bahwa kematian ada selalu di belakang kita. Mengikuti kemanapun kita pergi. Kaki kanan kita melangkah, ia juga akan melangkahkan kaki kanannya. Begitupun sebaliknya. Saat kita berbaring, dia disamping kita, ikut memeluk guling kesayangan kita, bahkan boneka favorit kita sewaktu masih kanak-kanak.

Kematian itu lebih dekat, daripada kedua orang tua kita. Daripada sahabat paling terkasih yang kita punya. Lebih dekat dari nadi. Ia kadang adalah kita sendiri, ketika kecewa, patah hati, dan sebutkan semua perasaan tidak nyaman yang ada di dunia ini. Ia sering kali adalah memang diri kita sendiri.

Aku meremehkan kematian, aku kira dia masih jauh. Masih jauh untuk merenggut orang-orang yang kukasihi, merenggut mereka yang selalu ada untuk bercerita, merenggut sesosok anjing kecil kesayangan, bahkan merenggut diriku sendiri. Maka ketika ia diabaikan dan diremehkan, ia memberontak untuk kembali disadari kehadirannya. Saat itulah, kau akan kalah dengannya. Hatimu akan remuk redam. Matamu akan panas. Dan kehadiranmu semakin jauh dari kata ada.

Tidak ada yang mengetahui saat-saat terakhir kamu bersama seseorang. Sepintar ataupun setinggi apapun IQ yang ia miliki, ia tidak akan mengerti sedekat apa dia dengan kematian. Ia tidak akan memberitahumu, "Ini obrolan terakhir kita" atau "Ini adalah saat terakhir kamu bisa menatap mataku". Tidak. Kematian akan merenggutnya lebih cepat daripada apa yang pernah ia pikirkan.

Maka pikiranku akan terlempar jauh di tanggal 25 Desember tahun lalu. Saat pohon natal meriah sekali untuk dipajang dan diposting. Percakapan-percakapan sederhana yang terus berputar saat itu dan kini jadi menghantuiku. Seorang bapak, seorang suami, seorang paman, seorang adik, dan seorang anak, saat itu bersama-sama dengan kami. Merayakan natal. Seperti setiap tahun biasanya. Tidak ada pengumuman bahwa itu akan menjadi saat terakhir kami bersama-sama. Pun tidak ada pemberitahuan bahwa itu akan menjadi natal terakhir yang akan kami miliki. Sebelum ia pergi.

Kami adalah satu-satunya anak teknik di keluarga besar kami. Sering kali aku bercermin saat melihat ke dalam dirinya. Aku menemukan separuh sosok yang kukenal selama ini dicermin ketika bertukar pikiran dengannya. Aku mengenalnya seperti aku mengenal tentang pribadiku. Mungkin tidak banyak, mungkin tidak dalam, tapi, ya, aku mengenalnya.

Maka, selamat menempuh kehidupan yang "baru", om. Tidak pernah kukatakan sebelumnya namun, aku menghormatimu dan melihatmu sebagai sosok panutan hidupku. Sambutlah aku ketika kita bertemu kembali di keabadian. Lalu kita lanjutkan obrolan terakhir kita di bawah pohon natal saat itu.

No comments:

Post a Comment