Kisah Dalam Dua Jam

Pulang bersepeda, aku nggak cari minum atau cari makan: dateng, markirin sepeda, nyapa Bapak yang lagi ngobrol sama tukang rumah sebelah, lalu bergegas masuk kamar. Keburu ilang ingatannya. Jadi aku langsung buka laptop dan mengetik ini. Kisah yang terjadi dua jam yang lalu dan entah kenapa bikin hati terasa sangat hangat. Sampai sekarang. 

So let's the story begin...

----

Akhir-akhir ini bangun pagi jadi hal terberat dalam hidup. Bukan, bukan karena masih ngantuk atau pingin males-malesan. Tapi lebih ke perasaan nggak enak yang masih aja ngegantung di pikiran dan hati. Entah itu perasaan apa, intinya nggak enak aja. Bangun pagi pikiran langsung melayang-layang, minta keluar dari badan, kembali ke peristiwa-peristiwa gak enak yang terjadi belakangan ini. Pokoknya berat, berat banget. Aku yakin kamu gak sanggup, biar aku aja. HAHA

Tapi kalo badan ini gak dipaksa keluar dari kurungan pikiran dan perasaan itu, ya gak bakal gerak. Jadi caranya: pejamkan mata, tarik nafas yang bener-bener panjang, lalu pas pikiran itu kembali lagi ke badan, gerakin badan, keluar dari kasur dan segera bergegas siap-siap untuk bersepeda di pagi hari sebelum pikiran aneh itu balik dan bikin bengong.

Karena terlalu bergegas, hari ini outfit bersepedanya agak kacau sih. Manset hitam panjang, ditumpuk sama sweater, lalu untuk bawahannya pake legging hitam 1/4. Gongnya ada di alas kaki: ya, sandal selop hitam kesayanganku. Tapi gapapa aneh karena yang paling penting dan gak boleh lupa yaitu double masker: masker kain lalu masker medis.

Tanpa banyak omong lagi (ya karena rumah juga lagi kosong sih, mau ngomong sama siapa), segera keluarkan sepeda dan mengayuh. Jangan lupa kunci rumah dan gerbang. Tapi lho kok ada yang aneh. Apa itu? Ya benar, ban sepedanya agak mbliyut (re: agak kempes). Sebenarnya ada pompa angin sepeda di rumah, tapi semales itu untuk buka gerbang dan pintu rumah. Jadinya tetap nekat mancal ke depan gerbang perumahan karena disitu ada tambal ban.

---

Kakek tua yang benar-benar menggambarkan kalimat: "hanya tulang berbalut kulit". Ringkih sekali. Waktu datang, beliau lagi nambal ban motor gede. Aku datang, menyapa, dibalasnya dengan senyum pagi yang cerahnya sama dengan cuaca hari ini. Beliau berdiri, mengusap peluhnya dan bertanya, "Nggih mbak?" ("Ya mbak?"). Entah kenapa bibirku tak sadar membalas senyumnya dan keramahannya itu hingga sempat lupa apa keperluannya datang kesini. "Oh, ini pak. Bisa nambah angin nggak ya? Kayaknya bannya agak kempes". Aku berusaha membalas pakai bahasa jawa, tapi emang kemampuanku cetek banget kalau urusan bahasa, jadinya pakai bahasa Indonesia aja.

"Saged saged mbak" jawabnya sambil menyalakan mesin untuk memompa ban. Untungnya beliau paham juga. Sempat takut karena kebanyakan orang sepuh (re: manula) hanya bisa bahasa Jawa kromo inggil, nggak bisa bahasa Indonesia. 

Satu hal yang langsung bikin hatiku nelongso, Bapaknya ternyata punya parkinson. Dari badannya yang kecil itu, tangannya tak henti-hentinya bergetar tapi tetap berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jujur langsung inget kakek yang udah nggak ada dan sedihnya jadi luar biasa. Aku mencoba mengalihkan rasa sedihku dengan mengajaknya mengobrol. Tidak banyak sih karena aku juga bukan tipe orang yang bisa angkat topik. Tapi dari situ aku yakin beliau orang yang hebat dan orang yang baik.

Selesai dipompa, beliau memberi harga 2000 untuk kedua ban sepeda kayuhku. Dan lagi-lagi karena kebodohanku, aku lupa kalau hanya membawa selembar 50.000. Tapi disitu aku langsung mikir, ini pasti rejeki bapaknya. Aku pun ikhlas kalau bapaknya gak ada kembalian. Ikhlas lahir batin. Malah pingin banget bapaknya nerima.

Tapi memang kekhawatiranku terjawab, bapaknya tentu gak mau nerima dan bilang "Bawa saja. Nggak usah.". Ah dasar orang baik, jadi sulit sekali mau ngucapin terima kasih.

---

Pulang bersepeda aku mampir ke warteg langganan. Literally langganan karena tiap pagi selalu kesana untuk sarapan. Wartegnya besar, punya banyak pelanggan, dan aku yakin omsetnya tiap hari bisa mencapai jutaan. Ibuku berteman baik dengan ibu warteg karena satu profesi: guru BK. Namun sebelum aku tahu bahwa ibu warteg itu teman ibuku, aku menganggap ibu warteg ini arogan dan sedikit kasar (baik secara lisan maupun perbuatan).

Aku datang membeli sayur untuk makan di rumah. Setelah dihitung, habisnya 8000. Aku keluarkan uang 50.000ku satu-satunya itu untuk membayar. Si ibu menatapku, lalu memberikan senyuman sinisnya. "Uang kecil aja mbak." katanya dengan tiba-tiba senyumnya hilang. 

"Saya cuman bawa ini bu." kataku membeberkan fakta yang memang sebenar-benarnya.

Dia melirikku lagi dengan tajam. Menghela nafas yang panjang dan melelahkan. Aku pun jadi salah tingkah, kenapa jadi seolah-olah ini salahku karena hanya membali sayur bernilai 8000 rupiah dengan hanya membawa duit selembar 50.000 rupiah?

Entah kenapa hal seremeh ini jadi bikin suasana bener-bener nggak enak. Lalu aku dengan PDnya bilang, "Saya bawa dulu ya bu. Nanti saya kembali bawa uang pas. Rumah saya nggak jauh."

Dia tiba-tiba tertawa ringan, "Jangan! Jangan! Tunggu disitu, saya cari kembalian"

Waw semua mata tertuju padaku. Apakah ini scene sebuah film? Tidak tahu. Tapi aku yakin, meskipun aku kabur dengan duit 8000 ini, besok warteg ini masih tetap berjaya. Masih banyak yang beli (termasuk keluargaku). Lalu untuk apa scene ini harus terjadi? Entah.

----

Mengawali bersepeda dengan kisah yang cukup menghangatkan hati dan mengakhiri bersepeda dengan kisah yang cukup membuat hati panas. Keduanya sama-sama insan yang berjuang hidup. Keduanya sama-sama berusaha. Tidak ada yang bermalas-malasan, keduanya sama-sama mengejar standart "hidup yang adil bagi semua orang". 

Lalu apa yang berbeda? 

Cara mereka memaknai hidup.

----

No comments:

Post a Comment