Bolehkah Membiasakan Untuk Menderita?

Banyak hal yang tidak dijelaskan secara gamblang oleh kedua orang tua kita (mungkin karena mereka juga tidak benar-benar paham), salah satunya adalah cara merasakan ikhlas. Ikhlas sering digemakan dimanapun. Ia bak dewa perasaan yang suci dan murni. Level tertinggi kedewasaan hidup seseorang.  Singkatnya, kalau kamu gak gampang ikhlas, berarti kamu belum sedewasa itu.

Ikhlas terasa sangat familiar, tapi masih terasa sangat jauh. Jauh, karena kita gatau cara jalan kesana. Apakah belok kanan? Apakah belok kiri? Apakah lurus terus rem blong? Kita gak pernah tahu. Tapi banyak orang yang mengaku "sudah ikhlas" entah itu benar atau hanya sebuah topeng untuk tidak lebih jauh menjelaskan perasaannya. Ya, memang topeng. Biar semuanya terasa mudah, karena semakin kita tidak ikhlas semakin kita diburu berbagai pertanyaan dari berbagai sudut pandang (padahal bukan mau kita untuk tidak merasakan ikhlas itu).

Lalu

Seperti pertanyaan yang berputar sebelumnya. Apakah ikhlas itu? Kamu bisa dengan mudah mendeskripsikan perasaan sedih: air mata mengalir, dada terasa panas, sesak, dan lain-lain. Tapi bagaimana dengan ikhlas? Apakah indikatornya? Apakah dengan melupakan masalah tersebut, memaafkan orang, hingga menerima keadaan seburuk apapun itu? Terlalu luas dan absurd untuk dijadikan sebuah patokan. Ikhlas menjadi sangat misterius dan ketika orang tidak bisa menemukannya, mereka lebih mudah frustasi olehnya.

Bagaimana jika ikhlas ternyata hanyalah dongeng belaka? Dia hanya diciptakan sebagai sebuah "pencapaian mustahil" manusia agar terus menurus berusaha meskipun tidak akan pernah mencapai di titik itu. Dia dibuat agar manusia bertahan dalam situasi dimana segala sesuatunya terasa sangat salah dan tidak benar. Bertahan dari apa? Bertahan dari penderitaan yang berlarut dan tiada habisnya.

Ketika membicarakan keikhlasan, aku lebih suka mengistilahkannya dengan tidak menderita. Ikhlas berarti tidak menderita. Tidak menderita akibat situasi tersebut. Namun tidak menderita ini tidak punya batasan waktu. Bisa jadi kamu punya masalah dengan situasi A, kamu hari ini tidak menderita (merasa fine-fine aja dan lain-lain), tapi bisa jadi besoknya kamu menderita (merasa terpuruk, sedih, dan lain-lain). Ia bak siklus setan yang berputar. Berputar-putar mencari rupa ikhlas yang ternyata cuman dongeng belaka. Lelah? Tentu, sangat. Tapi mau gimana lagi?

Bolehkah membiasakan untuk menderita?

Jawabannya tentu: tidak. Tidak boleh.

Aku percaya perasaan itu terus bertumbuh seiring banyaknya masalah yang kita hadapi. Mungkin situasi A di titik ini terasa sangat besar, sesak, dan tidak mungkin bisa terlewati. Tapi wadah kita untuk menampung permasalahan tersebut akan terus bertumbuh semakin besar seiring kita terus berjalan menapaki langkah demi langkah kehidupan kita. Pelan-pelan juga gapapa, asal kita gak berhenti berjalan dan berusaha, wadah itu akan terus bertumbuh.

Ia akan bertumbuh melalui orang baru yang kamu temui, situasi baru yang kamu rasakan, tempat baru yang kamu datangi, atau lagu baru yang kamu dengarkan. Wadah itu bertumbuh semakin besar, sedangkan masalah A yang kamu bahas-bahas di 2 tahun yang lalu (yang terasa besar, sesak, dan tidak mungkin bisa terlewati itu) tidak akan bertumbuh, juga tidak akan menyusut. Namun ia akan tampak kecil di sudut wadah yang begitu besar. Sehingga ketika kamu balik badanmu, melihat masalah A yang berada di 2 tahun lalu, kamu akan tertawa renyah dan menganggap itu hanyalah guyonan semata.

Rasa seperti ini lebih pantas untuk mendeskripsikan ikhlas. Wadah yang bertumbuh dan masalah di dalamnya yang segitu-gitu aja, sehingga banyak ruang kelegaan yang kamu rasakan. Sehingga memang solusi utamanya adalah waktu dan bertahan. Meskipun berjalan dengan berdarah-darah atau terluka, kamu harus tetap bertahan. Membiarkan wadah itu bertumbuh seiring jalannya waktu. Menderita untuk sementara sehingga kita tidak perlu membiasakan diri untuk menderita selamanya.

Aprilia Widia Andini

No comments:

Post a Comment