"bun aku nggak mau ngundang temen-temennya ibun ya kalo aku nikah"
"lha iya lah. kan kamu yang nikah, undang temen-temenmu lah"
---
Punya ibun yang sangat mengerti kondisi anak muda saat ini, rasanya jadi salah satu previlege yang ingin sekali kupamerkan. HAHA. Bohong rasanya kalau pemikiran dan penilaian terhadap satu kondisi gak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena salah satu faktor utama ya pasti tingkat pendidikan. Ibun dengan sarjana pendidikan bimbingan konselingnya tentu akan lebih paham kondisi anak muda jaman sekarang yang cenderung seenak jidatnya sendiri haha.
Ibun pun sering menyadari bahwa tantangan jaman sekarang jauh lebih berat dari apa yang ia alami dulu. Mungkin jawabannya ya karena kemudahan untuk berkomunikasi satu sama lain, jadinya ya opini dan pendapat bisa bertebaran dengan bebas dimanapun dan kapanpun. Free sex eh maaf free access lagi. Kalo dulu mungkin omongan tetangga yang bikin gedek. Kalo sekarang, meskipun di rumah aja, kamu bisa tiba-tiba denger opini mr.X dari gadget yang saat ini kamu pegang. Se-enggak menyenangkan itu.
Jawaban satu-satunya dari permasalahan ini ya kelola sosmed intake-mu per harinya. Udah gede kan? Udah bisa cari duit sendiri kan? Ya bisa dong buat ngontrol diri dan membatasi diri terhadap hal-hal yang sebenernya gak perlu-perlu banget. Iya, aku juga sedang belajar kok untuk mengelola itu. Hehe
---
Kembali lagi ke ibun.
Ada pepatah mengatakan bahwa patah hati terbesar orang tua ya berasal dari anaknya. Jadi gak heran banyak anak yang gak bisa seterbuka itu terhadap masalahnya ke orang tuanya. Bisa jadi takut orang tuanya patah hati atau emang bisa jadi punya orang tua yang judgmental. Banyak faktor sih tapi tetep aja gak bisa menyingkirkan fakta bahwa:
Orang tua juga bisa patah hati
Emang kamu doang yang patah hati karena baru putus? Nangis-nangis every single night, nyanyiin lagu sedih (kadang Indonesia Raya juga kalo moodnya lagi pas), atau nulis galau di sosmed. Emang orang tua kita engga patah hati ngeliat anaknya patah hati? Wah tentu berkali-kali lipat patah dan hancur haha. Sebagaimana kita nyembunyiin kalo lagi nangis dari orang tua kita, seberusaha itu juga orang tua kita menyembunyikan tangisannya dari kita.
---
"Bun, aku gapapa kah kalau gak nikah?"
Nunggu jawabannya udah kayak nunggu hasil tes sbmptn
"Ya boleh. Kenapa enggak? Itu kan pilihan hidupmu"
Aku meluk ibun dari belakang terus nangis.
Ibun melanjutkan, "Orang sukses itu yang bisa menjalani pilihan hidupnya dengan baik, dengan segala resiko dan konsekuensi yang siap ia terima."
---
She didn't ask me directly kenapa aku bisa berpikir kayak gitu. Dan aku lega karenanya. Tidak ada nada judgmental, tidak ada acara mengorek-ngorek cerita, tidak ada pandangan sinis. Semuanya terasa tenang dan nusuk di hati banget. Segampang itu ibun menerima keputusanku yang menurutku gak segampang itu diterima oleh orang tua umur 55 tahun.
Masalahku belakangan ini bener-bener ngebuat semua sudut pandangku terhadap dunia muter 180 derajat haha. Udah gak sama lagi aku memandang sebuah situasi, entah baik atau buruk, aku nggak tau. Intinya sih aku jadi agak trauma untuk didekatin atau mendekati orang. Apalagi untuk hal-hal ke arah romantis. Dan pengalaman burukku yang masih kayak daging superindo ini (re: segar) jadi membuatku gak ada kepinginan untuk nikah (tetep gatau lagi sih kalo suatu saat berubah karena bertemu orang yg tepat ceilah). Intinya bukan gak pingin nikah tapi lagi tidak mengusahakan untuk ke arah sana.
---
"Tadi Una dateng ke rumah. Ngeliat burung, main di kamarnya ibun bapak. Haha. Emang lucu banget masa sepatunya gak bisa dibuka karena kekecilan. Jadinya naik kasurnya ibun pake sepatu"
Una adalah anak tetanggaku yang berumur 2 tahun. Sering main ke rumah karena di rumah ada burung yang dipelihara bapak. Ibun sering cerita tentang dia. Di rumah, ibu bapak tinggal berdua. Kedua anak ceweknya merantau ke luar kota demi cuan dan kesenangan pribadi mereka. Dan sebenernya aku lega ketika ibun dan bapak masih ada cerita yang diceritakan, meskipun itu berasal dari anak tetangga.
Ibun suka anak kecil. Bapak pun. Mata mereka berbinar dan senyum mereka merekah ketika bercerita tentang anak kecil, siapapun itu. Dari situ aku sangat paham bahwa seorang cucu atau beberapa cucu akan jadi hiburan terbesar mereka (bahkan hadiah terbesar mereka) selama mereka hidup. Anak tetangga aja disayangi segitunya, apalagi cucunya sendiri.
Tentu hal ini bikin otakku me-recalling kejadian saat aku minta izin untuk tidak menikah.
Apakah benar ibun baik-baik saja dengan keputusanku?
Apakah benar nggak ada "apa-apa" dibalik kata "nggak papanya"?
Ternyata emang gak semudah itu ambil keputusan apalagi kalau kamu sedang sayang sekali sama orang. Pasti semua pendapat dia akan selalu dipertimbangkan diatas semuanya termasuk pendapat pribadi. Ternyata emang gak mudah untuk menerima patah hati dan segala akibat yang ditimbulkannya. Mungkin lebih baik aku mulai mencintai orang dengan hati-hati, karena semua rentetan mimpi buruk itu berakhir di Ibun.
---
No comments:
Post a Comment