Cukup

Membiarkan diri sendiri jadi objek untuk disakiti dengan dalih agar tidak menyakiti orang lain tampaknya memang langkah terbodoh yang pernah aku ambil selama 24 tahun hidup. Karena menjadi manusia sejatinya memang akan selalu menyakiti dan disakiti (meskipun seyogyanya tidak pernah punya intensi kesana). Lalu apalagi yang diupayakan untuk jadi seperti Tuhan? 

Memaafkan mengampuni mengikhlaskan rasanya kok hanya bisa dilakukan sama Tuhan dan bawahannya (re: nabi dewa dewi), karena sebagai manusia yang disakiti segitunya, hal itu terasa cuman dongeng belaka. Karena jujur, seberbusanya mulut ini ngomong bahwa kita udah memaafkan mengampuni atau mengikhlaskan orang tersebut, hati gak bisa bohong bahwa kita juga pengen dia menderita semenderita kita (entah besok, lusa, atau 4 tahun lagi).

Jadi bagaimana? Kapan usainya semua "urusan bisnis" ini?

Keterikatan semu yang sengaja diciptakan itu malah jadi boomerang bagi diri sendiri. Merasa tidak cukup dengan apa yang sudah terjadi, merasa takut untuk keluar dari lingkaran setan, atau tidak cukup berani untuk melangkah dan menampar setiap orang yang berada di dalamnya adalah contoh kebodohan yang saatnya diusaikan saja. Lelah dengan keadaan tapi tidak mau beranjak hanyalah mindset tolol yang dipakai sebagai excuse tak masuk akal untuk orang-orang pemalas yang gak mau nerima resiko lebih lagi. Padahal gak mesti bahwa di depan akan ada cerita lebih menyakitkan, bisa jadi yang ditempati sekarang adalah yang paling menyakitkan. Tapi misal emang di depannya ada yang lebih menyakitkan, yaudah gitu, beranjak lagilah. Bukankah emang hakikat setiap manusia itu beranjak untuk berproses?

Mencukupkan diri dengan semua hal yang berhubungan sama kondisi saat ini adalah langkah yang gak mudah dan juga menyakitkan. Membuat sendiri closure terhadap hubungan semu yang masih aja menghantui itu emang hal paling penting buat dilakukan. Hubungan yang secara real emang gak ada tapi cuman diada-adain (karena kita belum nerima kenyataan yang ada), emang harus cepet-cepet disudahi sebelum kita makin tersedot di dalam lumpur hisap harapan anjing. Kadang pingin sekali nampar-nampar diri sendiri (tidak secara harafiah ya, big no to self harm teman-teman) biar sadar bahwa kita sangat berdaya untuk mengubah keadaan diri sendiri. Udah lama sekali merasa terikat, terseret, ikut kemana-mana sehingga merasa keadaan yang ada emang udah kehendakNya dan gak bisa diubah. Udah cukup. Cukup.

Melangkah pergi memang tidak mudah. Tak jarang kita akan selalu menoleh kembali, melihat semua momen-momen yang baik (momen buruknya gak dilihat [emang si anjing]) lalu nangis lagi, jatuh lagi, sakit lagi. Tapi gak papa, keputusan untuk segera pergi itu baik dan berani. Sangat perlu diapresiasi. Pun dalam perjalanan pergi kita akan terseok, jatuh, dan merasa kembali ke titik 0, itu gak papa banget. Yang penting mencukupkan diri dengan semua hubungan semu itu bener-bener dilakukan.

Jadi ayo para penyayang yang selalu disayangkan. Mari buktikan kita bukan pecundang yang cuman bisa huhu, kita juga bisa weess (pergi) sambil huhu.


Aprilia Widia Andini

1 comment: