Bukankah Kita Mengantre di Gerbang Neraka yang Sama?

Menjalani kehidupan seperempat abad lamanya, entah ngerasa kurang atau cukup untuk memaknai hidup yang ternyata rumit ini. Semakin dewasa, semakin mengenal berbagai jenis dosa yang dulu di mata seorang anak kelas 5 SD kok mustahil banget dilakuin manusia. Tingkat toleransi untuk melakukan dosa pun semakin lama semakin besar. "Ini sebab Kau memberi aku cobaan, jadi ini jalanku buat tetap waras" begitu kata mereka yang pingin banget dibela atas dosa yang dipilihnya sendiri.

Makin lama, gak makin heran bahwa manusia tuh beragam banget; dari ceritanya, dari latar belakangnya, dari caranya memilih dosa, dan tetek bengek (tetek siapa yang bengek?) lainnya. Dari ketemu manusia lama yang berbeda seutuhnya, dari ketemu manusia baru yang uniknya luar biasa, semua kadang gak masuk akal kalau diliat dari kacamata bocil kecil ingusan yang bisanya cuman main gundu di depan rumah nenek. Lantas, permainan apa yang sebenarnya kita mainkan selagi bernafas? Adu prestasi? Adu ketangkasan hidup? Adu hoki? Atau adudu boboiboy?

Yang pasti dan kayaknya wajib yaitu adu siapa yang paling suci. Aku tidak melakukan dosa A maka aku bisa menjudge saudaraku yang melakukan dosa A untuk berhenti melakukan dosa A. Padahal mungkin dosaku B-Z. Kasus ini banyak terjadi di kota-kota besar. Lantas apakah ketika kita berdosa maka kita tidak bisa mengingatkan saudara kita yang melakukan dosa lain? Tentu itu hakikatnya sesama; mengingatkan insan lain ketika melakukan dosa (selagi kitanya masih waras).

Lalu apakah dosa itu memiliki timbangan? Dosa A lebih berat dari dosa B. Oke secara gamblang mungkin kita bisa bilang mencuri itu lebih ringan dosanya daripada membunuh? Apa indikatornya? Tentu dampaknya kepada orang lain. Mencuri mungkin dampaknya lebih ringan; korban kehilangan harta. Sedangkan kalau membunuh; korban kehilangan nyawa. Lalu jika fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, apakah kamu lebih ingin dibunuh daripada difitnah? Hm. Sulit

Berangkat dari filosofi yang baru disebutkan, maka bisa disimpulkan sebenarnya manusia itu selalu nyari jalan alternatif untuk membenarkan perlakuan salahnya. "Ini cuman cara biar aku gak stres karena dapet masalah ini", "Tuhan nyiptain dosa ini ya biar kita bisa healing", "Ya gimana lagi, namanya juga manusia, nafsunya gak tertahan bos", dsb dst. Jadi sebenarnya siapakah kita? Apakah jubir Tuhan? Tentu enggak ya.

Menjalani dosa yang bahkan aku sendiri benci untuk melakukannya, membuatku menyadari bahwa manusia itu emang bener-bener rentan sekali. Dicolek sedikit noleh. Dijawil sedikit merona. Sulit memberi batasan terhadap apa yang baik dan buruk, apalagi kita sedang dalam masa-masa terpuruknya. Karena ketika terpuruk, hal-hal buruk jadi terasa sangat benar untuk dijalani. Atas nama kewarasan mental! Katanya. Apakah benar? Tidak. Apakah dosa? Tentu. Apakah salah? Tidak tahu.

Terpuruk -> Melihat dosa menjadi penyelamat -> Berdosa

Melihat diagram alir sampah diatas itu, bisa disimpulkan bahwa keterpurukan jadi salah satu alasan mengapa manusia memilih berdosa. Jadi apakah bisa kita ngejudge dari dosanya? Tentu bisa. Tapi apakah itu memutus aliran perbuatan untuk menuju keberdosaan lagi? Ya enggak.

Simpelnya, ada orang miskin, anaknya sekarat belum makan 10 hari, akhirnya ia mencuri ayam tetangga. Oke dia salah. Mencuri. Apakah ketika dia 10 bulan ditahan di penjara karena mencuri akan membuat dia jera untuk mencuri? Tidak. Karena anaknya tetap tidak bisa makan 40 hari (ditambah masa tahanan). Lalu untuk memutus rantai itu? Ya, kasih pengertian untuk mencari kerja yang halal, kasih sembako ke rumahnya, ajak ke Layar Seafood buat makan kepiting. Done. Tinggal cari alternatif yang sustainable sehingga rantainya bisa terputus untuk tidak melakukan dosa lagi.

Balik lagi; lalu untuk dosa-dosa yang tidak ada hukumnya di Indonesia? Tentu "manusia-manusia suci" di belahan bumi nirwana ini datang untuk ngejudge; entah dari kata-katanya atau dari tindakannya. "Ya jangan ngelakuin lah, gobl0k deh lu pernah sekolah enggak? Itu namanya dosa" dan kalimat-kalimat senada lainnya yang bikin si "tersangka" makin terpuruk lalu akan mencari dosa lainnya. Kenapa kita nggak liat alur dia kenapa sampai bikin dosa? Sampai kita tahu dimana dia belok ke arah dosa itu dan bisa ngasih tau arah yang lebih baik.

Kalau kata Sherina, "Lihat segalanya lebih dekat, dan kau bisa menilai lebih bijaksana"

Karena dasarnya kita memang sama-sama berdosa. Aku sangat yakin itu, kecuali Anda-Anda emang dilahirkan sebagai nabi. Entah lah masih ada nggak sih nabi di jaman sekarang? Lalu berangkat dari kalimat tersebut, benarkah kita sedang mengantre di depan gerbang neraka yang sama? Jangan lupa sapa yang lainnya ya, pasti banyak kenalanmu.


Yang sedang berdosa-dosanya,

Aprilia Widia Andini

No comments:

Post a Comment