Dunia Berkeadilan

Dunia ini adil kata orang. Maka, aku mengiyakan tanpa lagi memuntahkan argumen tentang kesialan-kesialan yang kudapat dan keberuntungan-keberuntungan yang orang jahat dapat. Untuk hal-hal yang baik, tentu dengan cepat aku akan mengamini dan mendoakannya (meskipun aku belum merasakan sendiri buktinya), karena tidak ada hal yang buruk dari kata adil; adil itu terasa indah, teratur, dan damai. Lalu apakah kata amin untuk hal-hal indah di dunia harus punya ruang diskusi? Tentu saja tidak.

Ya, mungkin bagi sebagian orang, adil itu terasa jauh dan mustahil. Tentu gak sedikit orang yang merasa hidup ini gak bermakna lagi setelah tahu bahwa keadilan selamanya tidak berada di pihaknya. Keadilan apa yang dimaksud dan diharap? Apakah keadilan berarti setiap umat manusia memiliki cerita/kisah yang alus-alus aja dalam hidupnya? Apakah keadilan selalu melibatkan subjek kedua sebagai pembanding? Padahal kita tahu setiap insan adalah unik; memiliki kisah pembentukannya sendiri-sendiri. Lalu pembanding apa yang pantas dibandingkan sehingga kita merasa dunia ini sudah cukup adil atau tidak cukup adil?

Topik apakah dunia ini adil akhir-akhir ini menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangan olehku. Aku suka betapa orang-orang melempar cerita sialnya, dan merasa sakit hati ketika sang antagonis dalam cerita itu punya keberuntungan yang tiada henti, sedangkan si protagonis selalu ditimpa kesialan yang semakin lama semakin tidak masuk akal. Tentu, ketika dia bilang dunia itu tidak adil; itu adalah hak dia, aku gak bisa memutar fakta bahwa dia sial, dan si brengsek itu beruntung.

Hal-hal seperti ini adalah hal yang umum terjadi. Kita yang tersakiti merasa tidak beruntung, dan yang menyakiti kok hidupnya baik-baik saja. Tapi dari beberapa kali berdiskusi bersama orang-orang baik dan jahat, ada beberapa poin menarik yang bisa dijadikan bahan perenungan bersama tentang bagaimana dunia berkeadilan itu harusnya terbentuk.

  1. Apakah benar sang antagonis ini benar-benar merasa beruntung?
    Hal-hal yang dianggap sebagai keberuntungan itu memiliki celah besar untuk diargumentasikan. Beruntung menurut kacamata siapa? Dan seberapa lama keberuntungan itu akan berlangsung? Bukankah tidak ada kondisi permanen dan berlangsung selamanya?

  2. Apakah benar sang antagonis ini benar-benar antagonis?
    Aku pernah merasa bahwa diri ini penuh kesialan dan kemalangan, meskipun seberapa keras aku berusaha berbuat baik dan tidak menyakiti orang lain. Tentu saja orang yang menyakiti, hidup baik-baik saja tanpa kesialan dan kemalangan yang sama. Hal-hal seperti itu, jujur, memuakkan. Tapi setelah melihat ke dalam diri sendiri, apakah benar aku ini benar-benar protagonis? Jangan-jangan aku ini antagonis dalam cerita orang lain, sehingga ini karma yang harus aku terima. Atau jangan-jangan si brengsek ini, sudah menolong 1001 orang dan menyakiti 1 orang yaitu aku, sehingga yang ia terima adalah berkah dari 1001 orang tersebut? Jadi apakah bisa kita menakar dan punya wewenang untuk menentukan baik dan buruknya orang?

  3. Apakah kita cukup suci (re: baik) untuk mendoakan kemalangan orang lain?
    Tidak ada orang baik yang mendoakan kemalangan orang lain.
Kesimpulan utamanya adalah bahwa kita tidak ada wewenang untuk mengukur keadilan di dunia ini. Ya, dunia itu adil, tentu saja. Pun saat ini, sampai selamanya.

No comments:

Post a Comment