Hati harus seluas apa untuk menerima semua torehan luka yang dibuat oleh kehidupan?
"Hei agak geser ke kanan. Kalau disitu masih ada luka yang basah, nanti akan lebih sakit. Nah kau geser 3 langkah ke kanan, barulah kau sayat disitu."
Ketika rentetan sakit hati, kegagalan, penolakan, dan kehilangan itu terus menerus datang; mungkin kaki kita akan gemetar untuk melangkah ke depan. Gemetar masih lebih baik, bagaimana jika kaki itu patah dan tidak sanggup lagi melangkah?
Berbicara mengenai kepedihan tentu harus ada subjek yang patut dipersalahkan. Entah itu diri sendiri atau orang lain, namun akan selalu ada satu/lebih sumber penyebabnya. Keputusan, perilaku, kata-kata, perjanjian dari si sumber ini akan selalu bercabang kepada dua muara; kebahagiaan atau keterpurukan. Bahagia tentu keinginan semua orang, tapi pernahkah kamu merasa bahwa ketika kita terlalu mengingini sesuatu, kadang malah tidak terwujud? Untuk sebagian orang yang beruntung, mungkin hal ini tidak masuk akal, tapi percayalah mayoritas dari kita tersusun oleh kejadian-kejadian menyakitkan di masa lalu.
Ketika semua itu bermuara pada keterpurukan, apa langkah kita selanjutnya? Tentu mendendam. Terlebih kita merasa bahwa orang yang telah menyakiti kita tidak boleh lebih berbahagia dari pada kita. Kita membuat skenario-skenario di kepala seakan-akan dia menderita setelah menyakiti dan memberikan rasa trauma pada kita. Nyatanya? Korban akan mengingat detail-detail bagaimana mereka tersakiti dan kau tahu yang lebih menyakitkan? Bahwa banyak dari tersangka tidak merasa memberikan derita itu.
Tidak. Mereka tidak sesering itu mengingat kita daripada kita mengingat mereka. Banyak hal pahit yang harus kita telan contohnya adalah paracetamol dan fakta. Seperti paracetamol yang membantu kita menghilangkan nyeri, fakta pahit juga harus kita terima sebagai bentuk manusia yang dewasa dan utuh. Bahkan mungkin sebagian besar dari kita sudah tahu faktanya namun adakalanya kita melakukan penyangkalan hanya demi menenangkan diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.
Saya sering merenung dan merencanakan skenario balas dendam terbaik agar orang-orang yang meninggalkan trauma itu mendapatkan rasa bersalah yang besar dan tidak berbahagia lagi. Kemudian saya sampai di ujung jalan. Entah skenario balas dendam itu berhasil atau tidak, tiba-tiba rasanya kok sia-sia. Apakah kepuasan itu akan terasa melegakan seperti yang kita harapkan? Atau malah kita akan merasa sangat kosong ketika rasa puas itu telah hadir?
Hingga akhirnya saya menarik kesimpulan terbesar, ketika dia memang sudah tidak peduli bagaimana kalau saya juga belajar untuk memaafkan dan kembali menjalani hidup ini? Karena muara memaafkan menurut saya hanya satu; hati akan terasa penuh dan menyesakkan.
Jadi, ayo jalan lagi!
No comments:
Post a Comment