Berhenti di Diri Sendiri

 Melewati berbagai macam produk gagal percintaan kayaknya udah jadi signature saya. Sampai ada seorang teman yang lama nggak ketemu langsung menyapa dengan "Kamu kenapa Li, galau banget?". Pertanyaan-pertanyaan itu dengan wajar muncul tatkala jari ini memang tidak terkontrol untuk meluapkan isi hati. Saya marah, saya sedih, saya patah hati, semua rasa itu dengan mudah tersebar melalui sosial media. Ya, mungkin coping stress saya salah satunya adalah menulis.

Kegagalan dan kecerobohan saya memutuskan sesuatu yang seharusnya mudah (tapi malah saya bikin ruwet) itu memang berangkat dari pengalaman saya yang minim. Saya jarang berhubungan romantis dengan manusia dan sekalinya mendapat kesempatan itu; saya rasa saya terlalu menggebu-gebu. Hingga akhirnya keterbata-bataan bahasa cinta saya mengantarkan saya ke keputusan yang benar-benar keliru; mengorbankan diri sendiri untuk disakiti.

Saya tau, saya selalu ceroboh dalam mencintai. Saya mendahulukan apa yang menurut saya benar dan mengorbankan hal-hal logis yang harusnya jadi penyelamat saya (ya tapi memang logika dan cinta tidak pernah akur sih). Saya akhirnya babak belur karena kesoktahuan saya terhadap apa-apa yang akan terjadi.

Kemudian saya mendapati diri sendiri termenung di kamar saya yang gelap. Kembali memutar memori-memori pahit yang akhirnya menciptakan pikiran jahat bahwa saya tidak pernah cukup untuk siapapun. Membuat saya dengan mudah melihat kesalahan demi kesalahan yang saya lakukan (tentu ketika waras, saya anggap saya hanya apes saja dalam hal ini). Hingga pertanyaan terakhir dalam renungan malam itu; dari mana awal rentetan kesalahan ini?

Selama proses ini, saya kembali menoleh kebelakang untuk menilai langkah-langkah yang saya ambil. Sudah sejauh ini tapi apa yang salah? Sosok apa yang saya cari hingga terkadang frustasi dan mengutuk diri sendiri? Ah tentu. Saya benar-benar salah. Saya selalu mencari kesempurnaan dalam setiap cerita dan pribadi. Saya terus merasa hidup saya selancar pertemuan sejoli pada drama Korea. Padahal hidup sejatinya adalah terus berproses dan bertumbuh. Kemudian mencukupkan diri sendiri dan kembali menikmati hal-hal kecil yang ajaib yang ditawarkan semesta.

No comments:

Post a Comment