Masuknya musim hujan selalu dibarengi dengan mulainya musim lainnya. Bukan, bukan musim duren yang kita layak tunggu-tunggu, tapi musim penyakit. Apalagi bagi bayi umur 10 bulan. Penyakit lebih mudah masuk ke badan mereka daripada uang masuk ke rekening saya. Wajar, mereka baru mengenal kehidupan, juga untuk setiap sel darah putihnya, mereka baru orientasi.
Hari ini saya sengaja mengambil cuti karena memang mau menghabiskan jatah cuti yang kalau tidak habis akan hangus di akhir tahun (memang mirip sama poin telk*msel). Jatah cuti saya hari ini diisi dengan begitu baik; mengantar keponakan saya yang paling tercinta (karena masih punya 1) ke dokter karena dia sedang dilanda batuk pilek hebat. Tentu saja, anak kecil yang masuk ruangan dokter akan waspada. Meskipun bayi 10 bulan sebenarnya mudah dialihkan konsentrasinya, apalagi di ruangan dokter anak yang tentu punya banyak mainan dan ornamen. Tapi ketika sudah dilakukan observasi oleh dokter, dia memang harus tiduran dan dicek segala rupa oleh si dokter yang membuat dia akhirnya harus menangis. Takut, cemas, was-was, apalagi melihat histori anak-anak sebelumnya yang keluar dari ruangan bengis itu dengan tangis yang membahana.
Saya sebagai bulik yang filosofis tentu memanfaatkan momen ini untuk berpikir. Ya, kita akan meremehkan mereka yang "baru" diuji dengan "alah disenterin doang, nangis" "alah distetoskop doang aja kan adem, gak sakit" dan alah-alah lain yang cenderung merendahkan tangisan ketakutan mereka. Padahal kalau kita putar balik ke belakang, rasanya hampir tidak mungkin saya sendiri pas di umur segitu bisa tegar diperiksa oleh dokter, mungkin tidak lagi nangis, bisa jadi saya nge-reog sampai rol belakang.
Ternyata tahapan saya cukup panjang hingga sampai di titik ini. Mungkin kalau dilihat secara lebih universal lagi, banyak sekali tantangan yang sudah saya lalui hingga banyak masalah yang "alah" bagi saya sekarang. Bukan untuk meremehkan mereka, karena dulu saya di posisi itu juga merasakan hal yang sama (bahkan bisa jadi responnya lebih lebay), tapi lebih menyadari betapa kuatnya saya sekarang untuk melalui semua itu meskipun sulit.
Nilai dibawah KKM, fisika yang mematikan, patah hati, bertepuk sebelah tangan, gak punya duit untuk makan (soalnya udah kerja tapi duit habis dan malu minta orang tua), ditolak perusahaan (padahal udah spend banyak banget untuk proses rekrutmennya), melakukan hal bodoh-bodoh lainnya yang untungnya saya bisa menoleh ke belakang dan ketawa geli "ah apaan sih li"
Ternyata berbagai macam luka yang terjadi membuat saya naik level. Sama halnya kayak kita main game pertama kali, pasti kita masih menerka-nerka bagaimana cara mainnya, bagaimana saya dapat menyelesaikan ini, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tapi setelah beberapa kali jatuh bangun, sampai harus bayar koin untuk menyelesaikan level, kita bisa melewati itu.
Ah intinya ya, ketika kamu merasa kamu gak berkembang atau "aku kok gini-gini aja". NGGAK! Kita semua tuh bertumbuh dengan baik semenjak kita dilahirkan. Mungkin kita nggak harus menjadi "besar" untuk merasa bahwa kita "seseorang" di dunia ini. Kita bisa banget melihat melalui capaian kecil yang udah kita alami. Dan sadari betapa luka-luka itu akhirnya sembuh satu persatu dan membuat kita belajar betapa "besar"nya kita saat ini.
Note: at least ketika kita diobservasi pakai stetoskop atau mangap lalu disenter tenggorokannya oleh dokter, kita udah nggak nangis kan?
No comments:
Post a Comment