Mereka Bilang Ini yang Terbaik

 "Percayalah, tidak ada yang lebih baik dari ini" katanya tenang.

Mataku sudah berkaca-kaca, hanya dalam satu hembusan angin, ia akan meluber keluar layaknya aliran sungai pada musim hujan.

"Kau tahu, semua laki-laki sebelummu selalu berkata demikian," aku menarik nafas agar kaca itu tidak pecah keluar. "Semua berkata; aku melakukan ini untuk kebaikanmu" satu tetes air mata keluar dari ujung mata kananku.

Dia diam membuang pandangannya keluar jendela. Tampak wajahnya semakin merah, entah menahan marah atau tangis.

"Kenapa semua orang tiba-tiba menjadi Tuhan. Datang kemudian pergi dengan dalih yang sama: 'Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Kepergianku untuk kebaikanmu'. Aku berani bertaruh bahkan mereka pun tidak ada yang tahu apa yang terjadi dalam kehidupannya 5 detik ke depan, tapi seolah-olah dapat melihat apa yang akan terjadi padaku di masa depan, sehingga tahu apa yang baik atau tidak untukku"

"Kali ini berbeda. Aku melakukannya benar-benar untuk kebaikanmu." katanya dengan wajah memelas. "Tolong percayalah"

Aku menyeringai, menyeruput minumanku yang mulai dingin. Aku ingin sekali tampak tegar tapi badanku mulai gemetar karena rasa sedih itu tiba-tiba berhamburan di dadaku. Memori-memori baik dan menyenangkan yang sudah terjadi itu mulai memukul-mukul dadaku dan terasa sangat sesak.

"Jika menurutmu kebaikan itu adalah mengumpulkan sendiri kepingan-kepingan diriku yang berserakan dimana-mana, mungkin kamu benar." aku mengaduk minuman yang sebenarnya sudah homogen itu, berusaha mencari aktivitas lain agar mengalihkan perasaanku yang meledak-ledak. "Baiklah aku mengerti,"

Dia menegakkan badannya, menatapku dari balik lensa kacamatanya, menanti kelanjutan kalimatku. Aku memberanikan diri menatap matanya yang hari itu tampak sangat basah dan dalam. Meskipun aku sendiri khawatir kalau aku akan tenggelam di dalamnya.

"Kamu tahu, aku sudah menyayangimu dari awal. Meksipun kamu selalu tampak hati-hati, tapi aku sudah terlanjur jatuh. Aku minta maaf ya." kataku, aku diam sejenak mengambil jeda. Ah sial air mata itu sudah tidak tahan lagi berada di tempatnya. "Baiklah, pergilah. Aku akan menjalani hidupku kembali dengan jalan terbaik yang kau pilihkan ini"

Dia tampak ingin menyela tapi ragu. Yang dia suarakan hanyalah keheningan. Aku menghabiskan minumanku dan pergi dari cafe sepi di tepian kota itu. Meninggalkan dia yang masih tampak duduk dengan tenang meskipun aku tahu ia tidak tenang dengan kakinya yang tidak berhenti bergerak. 

Meskipun banyak sekali pertanyaan berputar di pikiranku, tapi aku tahu bahwa cepat atau lambat aku akan belajar arti dari sebuah peristiwa. Arti sebuah kehilangan dan kepergian seseorang. Aku sudah terbiasa membasuh lukaku sendiri, ini bukan kali pertama, aku percaya akan baik-baik saja.

No comments:

Post a Comment