Bersama. Mungkin satu hal itu yang secara tidak sadar,
merasuki kehidupan kami. Kami saling menguatkan satu sama lain. Mengisi
kekosongan satu sama lain. Melebihkan apa yang kurang dari pribadi kami
masing-masing dan menerima apa yang menjadi keterbatasan kami masing-masing.
Kami punya cerita saat kami bersama. Terlepas dari
kebersamaan itu, secara pribadi, banyak cerita yang kami alami. Semua hal
menyenangkan itu seakan menutup semua luka di dalam hati kami masing-masing.
Luka yang digoreskan oleh sebuah realita yang dinamakan kehidupan.
Keajaiban Semesta - Ilya
Kau tahu, bahwa apa yang terjadi di dalam dunia ini lebih
kurang karena kehendak semesta. Bergulirnya waktu, bertambahnya umur, keringnya
daun di musim kemarau panjang, juga sebagian kecil dari keajaiban semesta.
Seperti dia.
Dia keajaiban semesta yang terjadi dalam hidupku. Dia tidak
spesial, dia biasa saja, lubang hidungnya pun dua seperti kebanyakan orang
(bahkan semua orang), itu kata mereka yang tidak mencintainya. Tapi aku tidak
begitu. Bagiku dia lebih dari spesial, aku juga tidak tahu apa namanya itu.
Sebut saja lebih dari spesial.
Bukannya tidak mungkin aku secara takdir bertemu dengannya
di atap sekolah yang sama. Karena kata salah seorang temanku, yang namanya
kebetulan itu tidak ada. Jadi aku percaya saja, bahwa kami sudah ditakdirkan
begini dan begitu.
Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Tidak memakan
waktu yang lama, untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa dia adalah orang
kusayangi. Seperti kataku tadi, alasannya hanya satu, dia selalu tampak lebih
dari spesial di mataku. Matanya, hidungnya, cara jalannya, bahkan cara dia
menggaruk ketiaknya secara diam-diam, semuanya selalu membuatku takjub.
Keajaiban semesta kedua yang terjadi dalam hidupku adalah
Chessa, Lena, Ranti, Bitta, Yenna dan Diandra. Entah bagaimana semesta
mengaturnya, tapi aku tidak peduli itu. Yang penting sekarang, bagaimana aku
menghabiskan sisa hidupku dengan mereka yang sudah disediakan untukku.
Hari itu, kami berkumpul di rumah Chessa. Seperti biasalah,
gerombolan cewek-cewek penggosip yang selalu merasa kesepian jika sehari saja
tidak bergosip. Jadi gosip pertama yang dibuka waktu itu adalah tentang Ranti
yang mulai sadar bahwa kehidupan tidak akan pernah baik-baik saja. Kami semua
tegar untuknya, untuk menghindari dari tangisannya yang kadang secara tiba-tiba
datang dan membuat kami terkejut.
Lalu gosip kedua pada Yenna yang menceritakan cowok yang
suka kentut yang sedang mendekatinya. Itu sih cerita lama. Tidak heran Yenna
kan cantik, banyak cowok yang mengejarnya. Tapi herannya kami tidak pernah
bosan mendengar cerita Yenna tentang cowok-cowok itu, mulai dari keanehannya
sampai keromantisannya. Beragam.
Tak lama setelah Yenna bercerita, Ranti mendapat telepon
dari pacarnya. Kami semua turut bahagia sekaligus khawatir karena kami tahu
telepon itu bukan akhir cerita yang menyenangkan untuk Ranti, dia masih harus
menjalani detik demi detik dengan pacarnya itu yang sering kusebut
pacar-tak-tahu-diri.
Lalu entah mengapa aku teringat lagi pada sosok dia. Sudah
beberapa bulan ini dia sering mengirimiku pesan singkat. Bukannya mau sombong
atau terlalu percaya diri, tapi kurasa dia tertarik padaku. Aku senang
sekaligus cemas, kalau-kalau dia hanya menganggapku sekedar “teman”. Jadi aku
menahan semua rasa banggaku dulu sebelum perasaannya terlihat jelas.
Hari-hari terasa semakin cepat berlalu. Dan sampailah kami
pada hari-hari terakhir di sekolah yang mempertemukan kami disini. Bukan hari
terakhir secara harafiah, tapi memang hari terakhirnya di sekolah karena dia
akan lulus dari sekolah ini dan meninggalkan satu-satunya tempat yang paling kuharapkan
bisa mempertemukan kami.
“Gimana mas itu, Il? Ada progress?” tanya Lena setelah
menelan sepotong pancake buatan Chessa.
“Stagnan.” aku menggeser tanganku diudara secara horizontal
yang itu berarti benar-benar stagnan.
“Hmm. Ini benar-benar pancake luar biasa. Apalagi kalau
ditambahkan lelehan coklat. Hmm.” Lena memejamkan matanya dan benar-benar
menikmati pancake buatan Chessa. “Hmm oh ya.” dia kembali menatapku tanpa
menjatuhkan garpu yang ujungnya berisi potongan pancake. “Hmm. Menurutku kau
harus maju duluan.”
“Aku? Kau bercanda?” aku menggeleng. “Luar biasa lucu.”
“Menurutku juga begitu.” Diandra memberi jeda untuk menelan
pancake. “Kau tidak punya banyak waktu lagi, Il. Segalanya akan tampak sia-sia
jika waktumu telah habis. Percayalah.”
Diandra benar. Waktu memang hal yang tidak bisa dikendalikan
dan paling banyak membuat jengkel. Dia akan terus berputar walau aku berhenti.
Dan seperti semua orang di dunia ini, aku harus mengejar waktuku sendiri
sebelum segala sesuatunya berakhir.
“Mas, di taman Sriwedari setengah delapan malam. Nanti.
Penting. Jangan bilang tidak.” Aku mengetik pesan itu dengan cepat dan mengirim
ke nomer ponselnya.
Taman Sriwedari yang sudah dibuat bertahun-tahun silam ini
masih tampak muda. Mungkin karena perawatannya yang ekstra. Aku datang dan
memiilih tempat duduk disamping pohon besar yang sering kulihat di
ensiklopedia, meskipun aku sampai sekarang belum tau namanya.
Aku menghirup dalam-dalam udara dingin malam itu. Jantungku
berdetak tidak karuan dan tenggorokanku serasa ingin memuntahkan sesuatu. Tapi
aku memejamkan mataku berusaha untuk membuat diriku tenang. Apapun yang akan
kulakukan ini hanya karena waktu sialan yang tidak bisa berhenti berjalan. Aku
harus memberitahunya tentang perasaanku yang selama ini kupendam. Harus.
Suara langkah kaki yang begitu tenang dan begitu kukenal
datang mendekat. Sekujur tubuhku langsung terasa hangat walau suhu disana lebih
dingin daripada yang kukira. Aku membenarkan letak dudukku yang tidak karuan
karena perasaan gelisah tadi.
“Hai.” Katanya lalu duduk disampingku.
“H..” aku berdehem. “Hai.” Dia menatapku dan dengan isyarat
matanya, dia bertanya ada apa malam-malam begini aku harus menemuimu di taman
Sriwedari. “Ehm, Maaf mas. Sudah membuatmu repot.”
“Tidak masalah. Aku juga sedang ingin keluar…” dia memberi
jeda. “Bersamamu.”
Aku mengatur nafasku yang tiba-tiba memburu. “Jadi.” Aku memberi
jeda yang cukup lama untuk membiarkan keheningan menyatukan kami. “Ada yang
ingin aku katakan.”
“Maaf menyela tapi…” dia diam menatapku dalam-dalam. “Ada hal
yang lebih penting yang sepertinya harus kukatakan duluan kepadamu.”
Aku diam. Tapi tetap menatap mata cokelatnya yang indah itu.
“Maaf karena…”dia memulai.”membuatmu menunggu selama ini.
Tapi aku benar-benar mencari waktu yang tepat.” Dia memberi jeda lagi dengan
sehela nafas panjang yang dibuangnya. “Aku sayang kamu, Il. Kamu mau jadi
pacarku?”
Aku diam. Semesta, tolong katakan kepadanya bahwa diam
artinya Iya-aku-sangat-sangat-sangat-mau.
to be continued.... Mencoba - Diandra
to be continued.... Mencoba - Diandra
Iki cerito opose :'D
ReplyDeletegak eroh :'D
Delete