Cerita-cerita Sederhana dari Kami - Part 4

Kami tidak tahu apa yang membuat kami berjalan beriringan seperti ini. Hari esok tampaknya terlalu remeh untuk menjadi hal yang ditakuti, karena kami tahu, kami bersama. Selama kebersamaan ini selalu mengiringi, tidak ada lagi tempat tersisa untuk rasa takut.

Bersama. Mungkin satu hal itu yang secara tidak sadar, merasuki kehidupan kami. Kami saling menguatkan satu sama lain. Mengisi kekosongan satu sama lain. Melebihkan apa yang kurang dari pribadi kami masing-masing dan menerima apa yang menjadi keterbatasan kami masing-masing.

Kami punya cerita saat kami bersama. Terlepas dari kebersamaan itu, secara pribadi, banyak cerita yang kami alami. Semua hal menyenangkan itu seakan menutup semua luka di dalam hati kami masing-masing. Luka yang digoreskan oleh sebuah realita yang dinamakan kehidupan.

Keajaiban Semesta - Ilya
Kau tahu, bahwa apa yang terjadi di dalam dunia ini lebih kurang karena kehendak semesta. Bergulirnya waktu, bertambahnya umur, keringnya daun di musim kemarau panjang, juga sebagian kecil dari keajaiban semesta.

Seperti dia.

Dia keajaiban semesta yang terjadi dalam hidupku. Dia tidak spesial, dia biasa saja, lubang hidungnya pun dua seperti kebanyakan orang (bahkan semua orang), itu kata mereka yang tidak mencintainya. Tapi aku tidak begitu. Bagiku dia lebih dari spesial, aku juga tidak tahu apa namanya itu. Sebut saja lebih dari spesial.

Bukannya tidak mungkin aku secara takdir bertemu dengannya di atap sekolah yang sama. Karena kata salah seorang temanku, yang namanya kebetulan itu tidak ada. Jadi aku percaya saja, bahwa kami sudah ditakdirkan begini dan begitu.

Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Tidak memakan waktu yang lama, untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa dia adalah orang kusayangi. Seperti kataku tadi, alasannya hanya satu, dia selalu tampak lebih dari spesial di mataku. Matanya, hidungnya, cara jalannya, bahkan cara dia menggaruk ketiaknya secara diam-diam, semuanya selalu membuatku takjub.

Keajaiban semesta kedua yang terjadi dalam hidupku adalah Chessa, Lena, Ranti, Bitta, Yenna dan Diandra. Entah bagaimana semesta mengaturnya, tapi aku tidak peduli itu. Yang penting sekarang, bagaimana aku menghabiskan sisa hidupku dengan mereka yang sudah disediakan untukku.

Hari itu, kami berkumpul di rumah Chessa. Seperti biasalah, gerombolan cewek-cewek penggosip yang selalu merasa kesepian jika sehari saja tidak bergosip. Jadi gosip pertama yang dibuka waktu itu adalah tentang Ranti yang mulai sadar bahwa kehidupan tidak akan pernah baik-baik saja. Kami semua tegar untuknya, untuk menghindari dari tangisannya yang kadang secara tiba-tiba datang dan membuat kami terkejut.

Lalu gosip kedua pada Yenna yang menceritakan cowok yang suka kentut yang sedang mendekatinya. Itu sih cerita lama. Tidak heran Yenna kan cantik, banyak cowok yang mengejarnya. Tapi herannya kami tidak pernah bosan mendengar cerita Yenna tentang cowok-cowok itu, mulai dari keanehannya sampai keromantisannya. Beragam.

Tak lama setelah Yenna bercerita, Ranti mendapat telepon dari pacarnya. Kami semua turut bahagia sekaligus khawatir karena kami tahu telepon itu bukan akhir cerita yang menyenangkan untuk Ranti, dia masih harus menjalani detik demi detik dengan pacarnya itu yang sering kusebut pacar-tak-tahu-diri.

Lalu entah mengapa aku teringat lagi pada sosok dia. Sudah beberapa bulan ini dia sering mengirimiku pesan singkat. Bukannya mau sombong atau terlalu percaya diri, tapi kurasa dia tertarik padaku. Aku senang sekaligus cemas, kalau-kalau dia hanya menganggapku sekedar “teman”. Jadi aku menahan semua rasa banggaku dulu sebelum perasaannya terlihat jelas.

Hari-hari terasa semakin cepat berlalu. Dan sampailah kami pada hari-hari terakhir di sekolah yang mempertemukan kami disini. Bukan hari terakhir secara harafiah, tapi memang hari terakhirnya di sekolah karena dia akan lulus dari sekolah ini dan meninggalkan satu-satunya tempat yang paling kuharapkan bisa mempertemukan kami.

“Gimana mas itu, Il? Ada progress?” tanya Lena setelah menelan sepotong pancake buatan Chessa.

“Stagnan.” aku menggeser tanganku diudara secara horizontal yang itu berarti benar-benar stagnan.

“Hmm. Ini benar-benar pancake luar biasa. Apalagi kalau ditambahkan lelehan coklat. Hmm.” Lena memejamkan matanya dan benar-benar menikmati pancake buatan Chessa. “Hmm oh ya.” dia kembali menatapku tanpa menjatuhkan garpu yang ujungnya berisi potongan pancake. “Hmm. Menurutku kau harus maju duluan.”

“Aku? Kau bercanda?” aku menggeleng. “Luar biasa lucu.”

“Menurutku juga begitu.” Diandra memberi jeda untuk menelan pancake. “Kau tidak punya banyak waktu lagi, Il. Segalanya akan tampak sia-sia jika waktumu telah habis. Percayalah.”

Diandra benar. Waktu memang hal yang tidak bisa dikendalikan dan paling banyak membuat jengkel. Dia akan terus berputar walau aku berhenti. Dan seperti semua orang di dunia ini, aku harus mengejar waktuku sendiri sebelum segala sesuatunya berakhir.

“Mas, di taman Sriwedari setengah delapan malam. Nanti. Penting. Jangan bilang tidak.” Aku mengetik pesan itu dengan cepat dan mengirim ke nomer ponselnya.

Taman Sriwedari yang sudah dibuat bertahun-tahun silam ini masih tampak muda. Mungkin karena perawatannya yang ekstra. Aku datang dan memiilih tempat duduk disamping pohon besar yang sering kulihat di ensiklopedia, meskipun aku sampai sekarang belum tau namanya.

Aku menghirup dalam-dalam udara dingin malam itu. Jantungku berdetak tidak karuan dan tenggorokanku serasa ingin memuntahkan sesuatu. Tapi aku memejamkan mataku berusaha untuk membuat diriku tenang. Apapun yang akan kulakukan ini hanya karena waktu sialan yang tidak bisa berhenti berjalan. Aku harus memberitahunya tentang perasaanku yang selama ini kupendam. Harus.

Suara langkah kaki yang begitu tenang dan begitu kukenal datang mendekat. Sekujur tubuhku langsung terasa hangat walau suhu disana lebih dingin daripada yang kukira. Aku membenarkan letak dudukku yang tidak karuan karena perasaan gelisah tadi.

“Hai.” Katanya lalu duduk disampingku.

“H..” aku berdehem. “Hai.” Dia menatapku dan dengan isyarat matanya, dia bertanya ada apa malam-malam begini aku harus menemuimu di taman Sriwedari. “Ehm, Maaf mas. Sudah membuatmu repot.”

“Tidak masalah. Aku juga sedang ingin keluar…” dia memberi jeda. “Bersamamu.”

Aku mengatur nafasku yang tiba-tiba memburu. “Jadi.” Aku memberi jeda yang cukup lama untuk membiarkan keheningan menyatukan kami. “Ada yang ingin aku katakan.”

“Maaf menyela tapi…” dia diam menatapku dalam-dalam. “Ada hal yang lebih penting yang sepertinya harus kukatakan duluan kepadamu.”

Aku diam. Tapi tetap menatap mata cokelatnya yang indah itu.

“Maaf karena…”dia memulai.”membuatmu menunggu selama ini. Tapi aku benar-benar mencari waktu yang tepat.” Dia memberi jeda lagi dengan sehela nafas panjang yang dibuangnya. “Aku sayang kamu, Il. Kamu mau jadi pacarku?”

Aku diam. Semesta, tolong katakan kepadanya bahwa diam artinya Iya-aku-sangat-sangat-sangat-mau.

to be continued.... Mencoba - Diandra

2 comments: